Menghindari Kemungkaran di Penghujung Tahun
Ternyata tidak sedikit kaum muslimin yang masih belum mengerti bagaimana hukum mengucapkan selamat natal atau hari-hari raya orang kafir lainnya. Hal ini nampak dari banyaknya kaum muslimin yang masih saja memberikan ucapan selamat, bergembira, dan bahkan ikut merayakan hari raya yang jatuh pada setiap penghujung tahun masehi tersebut, tidak terkecuali tahun ini.
Oleh karena itulah, kami akan menampilkan fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ dan Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tentang permasalahan ini.
Tepat sepekan setelah hari natal, ada momen besar lainnya yang umat Islam sangat rawan untuk terjatuh kepada kemungkaran dan pelanggaran syar’i di dalamnya, yaitu tahun baru. Sehingga tidak lupa kami juga menampilkan hukum merayakannya sebagaimana yang telah difatwakan oleh para ulama.
Hukum Mengucapkan Selamat Kepada Orang-Orang Nashara pada Hari Raya Mereka
Pertanyaan:
Bagaimana hukum Islam tentang mengucapkan selamat kepada orang-orang nashara pada hari raya mereka, karena saya mempunyai paman yang bertetangga dengan seorang nashrani, dan paman saya ini memberikan ucapan selamat kepadanya ketika bergembira maupun ketika hari raya. Dan sebaliknya si nashrani tersebut juga mengucapkan selamat kepada paman saya ketika bergembira, ketika hari raya, atau pada kesempatan lain. Apakah ini diperbolehkan: ucapan selamat seorang muslim kepda nashrani dan nashrani kepada seorang muslim ketika hari raya-hari raya maupun saat-saat bergembira?
Jawaban:
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang nashrani ketika hari raya-hari raya mereka, karena yang demikian itu merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan kita dilarang untuk itu. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ.
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)
Sebagaimana juga disebabkan karena padanya (ucapan selamat tersebut) terdapat unsur kasih sayang kepada mereka, mengharap kecintaan, dan mengesankan sikap ridha kepada mereka dan syi’ar-syi’arnya, maka ini tidak diperbolehkan.
Bahkan yang wajib adalah menampakkan permusuhan dan kebencian yang nyata kepada mereka, karena mereka telah memerangi Allah jalla wa’ala dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, dan mereka telah menjadikan (menganggap) bagi Allah (memiliki) istri dan anak. Allah ta’ala berfirman:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ.
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)
Dan firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ.
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
Wabillahittaufiq.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ III/313]
Rabu, 29 Desember 2010
AKIBAT YANG AKAN DIRASAKAN OLEH PELAKU RIBA
Para pembaca, tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]
Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]
Kemana Mbah Marijan?
Bismillah
Gunung Merapi yang selama ini terdiam, kini memuntahkan debu-debu vulkanik dan lahar-lahar beracun beserta zat lain yang berbahaya. Merapi telah meluluhlantahkan harta benda manusia Jogja, menelan banyak korban nyawa, mengacaukan segala kegiatan yang semula terencana. Akhirnya banyak orang yang menjadi yatim, janda, duda, jatuh melarat.
Makhluk Allah -Azza wa Jalla- yang satu ini telah menumbangkan kesombongan Mbah Marijan dan kebatilan sangkaannya sebagai “Juru Kunci Merapi”. Sudah menjadi hikmah di sisi Allah, orang yang menampakkan kesombongannya, maka Allah akan mencampakkannya dalam keadaan hina dina, entah di dunia atau di akhirat.
Ketika Mbah Marijan semakin menampakkan kesombongannya di tahun 2006M melalui prediksi dan reka-rekanya bahwa Merapi belum meletus, sementara pemerintah setempat telah memperkirakan sebaliknya berdasarkan fakta dan riset ilmiah, maka banyak masyarakat yang menuhankan Mbah Marijan, dan lebih percaya bahwa ia adalah Juru Kunci Merapi yang dapat membaca dan mengatur keganasan makhluk itu. Mengapa mereka membenarkannya?! Karena, rekaan Mbah Marijan kebetulan benar. Padahal semua itu adalah kembali kepada taqdir (ketentuan) Allah. Allah yang menentukannya!!
Para pembaca yang budiman, semua itu Allah taqdirkan demikian untuk menguji dan menyaring antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman alias musyrik. Pernyataan Mbah Marijan saat itu benar, karena kebetulan saja sesuai dengan takdir di sisi Allah, bukan karena ia memiliki ilmu yang dapat mengetahui dan mengatur kondisi Gunung Merapi.
Tapi apa itu benar? Tentu saja tidak!! Ketika Merapi meletus di tahun ini, maka tak ada seorang makhluk pun yang mampu menahan musibah yang Allah -Azza wa Jalla- tetapkan. Lalu kemanakah Mbah Marijan ‘Sang Juru Kunci’ saat merapi memuntahkan lahar, belerang, dan zat-zat vulkanik lainnya??! Ternyata sang Juru Kunci telah mampus dan tak berdaya lagi. Semua tragedy ini telah membungkam mulut para pengagung Mbah Marijan, menghancurkan segala pikiran batil mereka tentang sang Juru Kunci, dan menyadarkan mereka bahwa segala musibah ada di Tangan Allah Robbul alamin. Jika musibah itu datang, maka tak ada yang mampu mencegahnya, kecuali Allah -Azza wa Jalla-. Adapun Mbah Marijan dan semodelnya, maka ia hanyalah ibarat semut yang tidak berdaya di hadapan musibah yang Allah turunkan. Selayaknya ia hanya berdoa memohon kepada Allah -Azza wa Jalla- keselamatan dari bahaya letusan Merapi, bukan menobatkan dirinya pengatur Merapi. Sebab itu bukanlah jabatannya dari Allah. Para malaikat saja tak mampu mengatur alam semesta, tanpa seijin Allah -Azza wa Jalla-. Nah, lantas kenapa Mbah Marijan yang amat lemah dan amat hina, tiba-tiba menobatkan dirinya seperti tuhan yang mampu mengatur Allah semesta (dalam hal ini Merapi)? Sungguh suatu hal yang aneh lagi mungkar!!
* Penyimpangan Tauhid Rububiyyah
Para pembaca yang budiman, beriman kepada Allah tak mungkin akan sempurna, kecuali men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam tiga perkara: Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asmaa’ wash Shifaat (nama-nama dan sifat Allah).
Seorang yang mengesakan Allah dalam RUBUBIYYAH-nya, ia mengesakan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang khusus bagi Allah. Tak ada yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu, selain Allah -Azza wa Jalla- , seperti: al-kholqu (mencipta), ar-rizqu (memberi rezki), at-tadbir (mengatur alam semesta), al-imaatah (mematikan), al-ihyaa’ (menghidupkan), an-naf’u wadh dhurru (memberi manfaat dan madhorot), dan lainnya.
Seorang yang men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam perkara ULUHIYYAH (penyembahan), ia akan mengesakan Allah dalam penyembahan dan peribadahan kepada-Nya. Dia tak akan mengarahkan ibadahnya kepada makhluk, baik itu nabi, malaikat atau yang lainnya. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 8) oleh Syaikh Muhammad Al-Khumayyis]
Seorang yang men-tauhid-kan Allah dalam nama dan sifat-sifat-Nya, ia akan meyakini bahwa tak ada makhluk yang memiliki nama atau sifat yang menyerupai nama atau sifat Allah sedikitpun
Jika kita melihat dan memperhatikan kehidupan Mbah Marijan , maka ia keliru dalam tiga dalam perkara ini. Dia telah berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan para makhluk.
Lihatlah dalam perkara rububiyyah, ia telah menobatkan dirinya sebagai “Juru Kunci Merapi” yang mampu mengatur Merapi. Menurutnya, dia yang menentukan meletus tidaknya Merapi. Dia menyangka bahwa dirinya mampu mengatur alam semesta (dalam hal ini Merapi). Padahal tak ada yang mampu mengatur urusan alam semesta, semuanya ada di Tangan Allah -Azza wa Jalla-. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”.(QS. As-Sajdah : 5)
Allah -Ta’ala- berfirman dalam (QS. Asy-Syuuro: 12),
“Kepunyaan-Nya-lah kunci-kunci langit dan bumi. Dia melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Allah yang mengatur alam semesta (langit dan dunia). Dia-lah yang menentukan hasil dan akibat setiap makhluk-Nya, sebab Dia-lah yang menciptakannya, bukan makhluk yang menciptakannya!! [Lihat Fathul Qodir (3/344) oleh Al-Imam Asy-Syaukaniy]
Kemaslahatan hamba yang berkaitan dengan dunia dan akhiratnya, semuanya ada dalam pengaturan Allah. Musibah dan keburukan yang menimpa sebagian hamba-Nya, semuanya dalam pengaturan Allah. Makhluk tak memiliki campur tangan di dalamnya!!
Dari sini anda mengetahui kesalahan fatal Mbah Marijanyang melantik dirinya sebagai sang Pengatur Merapi. Sungguh ini adalah kelancangan kepada Allah Sang Pencipta!! Kesalahan fatal ini tak pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, sebab mereka tak pernah mengaku bahwa sesembahan batil mereka mampu mengatur alam semesta (misalnya, gunung). Dengarkan pengakuan mereka dalam Al-Qur’an (QS. Yunus : 31),
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[ dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
Perhatikan saat mereka ditanya tentang siapa yang mengatur urusan alam semesta, maka mereka mengembalikannya kepada Allah, bukan kepada sembahan-sembahan batil mereka. Adapun sebagian manusia jahil hari ini, maka mereka mengembalikan pengaturan alam semesta kepada Mbah Marijan. Subhanallah, ini adalah kebodohan dalam berpikir, lebih bodoh dibandingkan kaum kafir Quraisy.
* Penyimpangan dalam Tauhid Uluhiyyah
Kesalahan fatal lainnya yang dilakukan oleh Mbah Marijan, ia sering memimpin ritual-ritual syirik yang diadakan disekitar Gunung Merapi, berupa ritual dan ibadah penyembelihan dan persembahan hewan ternak atau yang lainnya kepada selain Allah, berdoa kepada para penguasa Merapi yang ia yakini dari kalangan setan-setan Merapi.
Berdoa kepada selain Allah dan menyembelih untuk selain Allah dari kalangan makhluk (seperti, malaikat, manusia atau jin) merupakan kemusyrikanterbesar di sisi Allah -Azza wa Jalla-!!! Karenanya, Allah -Ta'ala- berfirman,
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.(QS. Al-Jin : 18)
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Allah -Ta'ala- berfirman dalam memerintahkan para hamba-Nya agar mengesakan Allah dalam perkara-perkara ibadah. Tak boleh seorang makhluk pun diseru (dimohon) bersama-Nya dan tak boleh pula dipersekutukan bersama Allah sebagaimana kata Qotadah tentang firman Allah (lalu beliau menyebutkan ayat di atas), “Dulu orang-orang Yahudi dan Nashoro, jika mereka masuk ke dalam gereja-gereja dan tempat ibadah mereka, maka mereka menyekutukan Allah (berbuat syirik). Lantaran itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk men-tauhid-kan Allah (mengesakan-Nya)”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/244)]
Seorang muslim dilarang keras berdoa dan berlindung kepada makhluk, baik itu berupa malaikat, manusia, jin dan lainnya, sebab ini adalah kesyirikan ‘menyekutukan Allah’ yang telah menjadi symbol pembeda antara penganut agama paganisme (penyembah berhala) dengan penganut agama tauhid ‘agama Islam’. Agama paganisme mengajak kepada penyembahan makhluk, sedang Islam menentangnya dengan keras, dan tak mau menyembah sembahan apapun, kecuali Allah saja!!
Oleh karenanya, perbuatan dan ritual ibadah yang digandrungi Mbah Marijan (berupa persembahan kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada para makhluk halus, takut dan berharap kepada mereka), semua itu bukanlah bagian Islam, bahkan ia adalah ajaran paganisme yang bersumber ajaran Hindu-Buddha, animisme, dan kejawen. Adapun dalam Islam, maka semua bentuk ibadah seperti itu, tak boleh kita berikan dan persembahkan, kecuali untuk Allah, Pemilik dan Pencipta alam semesta.
Allah -Ta’ala- memerintahkan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- demi menyelisihi kaum musyrikin paganisme yang gandrung menyembelih untuk sesembahan mereka yang batil,
“Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. Al-An’aam: 162)
Seorang yang menyembelih dan mengorbankan sesuatu untuk makhluk halus atau kasar akan terkena laknat dari Allah -Ta’ala-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. [HR. Muslim Al-Kitab Adhohiy (no. 1178), dan An-Nasa’iy dalam Kitab Adh-Dhohayaa (7/232)]
Syaikh Isma’il bin Abdil Ghoniy Ad-Dahlawiy -rahimahullah- berkata,“Sungguh hadits ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah termasuk amalan (ibadah) yang Allah khususkan untuk mengagungkan diri-Nya. Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat syirik (menyekutukan Allah)”.[Lihat Risalah At-Tauhid (hal. 117)]
Para pembaca yang budiman, menyembelih untuk selain Allah termasuk dosa syirik yang bisa menyebabkan seorang muslim keluar dari agama-Nya. Jadi, Mbah Marijan yang begini pekerjaan dan kelakuannya telah melakukan pelanggaran besar di sisi Allah. Adapun matinya Mbah Marijan dalam posisi sujud, maka itu tak boleh dijadikan argument bahwa ia mati istiqomah alias mati baik ‘husnul khotimah’, dengan beberapa alasan:
* Konon kabarnya, dia bersujud ke arah selatan
* Tak ada bukti kongkrit bahwa ia bertobat. Kalaupun ia tobat, maka tobatnya bukan lagi pada waktunya, sebab ia telah berada di ambang kematian, sedang tobat seperti ini tak diterima lagi.
* Mbah Marijan bersujud usai sholat Ashar, dan berada antara kamar mandi dan dapur. Lantas sujud apakah itu?
* Mungkin saja ia tak bersujud pada hakikatnya, tapi ia jatuh tersungkur.
* Anggaplah ia bersujud dan mati dalam keadaan sholat, tapi perlu diketahui bahwa kaum musyrikin Quraisy juga sholat. Namun sholat mereka tak berguna, karena mereka berbuat syirik.
* Detik-detik terakhir sebelum meletusnya Merapi, Mbah Marijan masih bersikeras dengan sikap dan posisi kesombongannya sebagai KUNCEN ‘Juru Kunci Merapi’.
* Dia diperintah turun saat musibah dekat, tapi ia nekad. Ini jelas bunuh diri!!
Dengan beberapa argument tersebut, dan yang lainnya, maka para pengagung dan simpatisan si Mbah Marijan tak boleh merasa bangga dan bergembira dengan kematiannya, lalu menyatakan bahwa ia mati husnul khotimah. Bahkan kita khawatirkan ia mati kafir, sebab kesyirikannya!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 183 Tahun III. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.
Link sumber : http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/kemana-mbah-marijan.html
Gunung Merapi yang selama ini terdiam, kini memuntahkan debu-debu vulkanik dan lahar-lahar beracun beserta zat lain yang berbahaya. Merapi telah meluluhlantahkan harta benda manusia Jogja, menelan banyak korban nyawa, mengacaukan segala kegiatan yang semula terencana. Akhirnya banyak orang yang menjadi yatim, janda, duda, jatuh melarat.
Makhluk Allah -Azza wa Jalla- yang satu ini telah menumbangkan kesombongan Mbah Marijan dan kebatilan sangkaannya sebagai “Juru Kunci Merapi”. Sudah menjadi hikmah di sisi Allah, orang yang menampakkan kesombongannya, maka Allah akan mencampakkannya dalam keadaan hina dina, entah di dunia atau di akhirat.
Ketika Mbah Marijan semakin menampakkan kesombongannya di tahun 2006M melalui prediksi dan reka-rekanya bahwa Merapi belum meletus, sementara pemerintah setempat telah memperkirakan sebaliknya berdasarkan fakta dan riset ilmiah, maka banyak masyarakat yang menuhankan Mbah Marijan, dan lebih percaya bahwa ia adalah Juru Kunci Merapi yang dapat membaca dan mengatur keganasan makhluk itu. Mengapa mereka membenarkannya?! Karena, rekaan Mbah Marijan kebetulan benar. Padahal semua itu adalah kembali kepada taqdir (ketentuan) Allah. Allah yang menentukannya!!
Para pembaca yang budiman, semua itu Allah taqdirkan demikian untuk menguji dan menyaring antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman alias musyrik. Pernyataan Mbah Marijan saat itu benar, karena kebetulan saja sesuai dengan takdir di sisi Allah, bukan karena ia memiliki ilmu yang dapat mengetahui dan mengatur kondisi Gunung Merapi.
Tapi apa itu benar? Tentu saja tidak!! Ketika Merapi meletus di tahun ini, maka tak ada seorang makhluk pun yang mampu menahan musibah yang Allah -Azza wa Jalla- tetapkan. Lalu kemanakah Mbah Marijan ‘Sang Juru Kunci’ saat merapi memuntahkan lahar, belerang, dan zat-zat vulkanik lainnya??! Ternyata sang Juru Kunci telah mampus dan tak berdaya lagi. Semua tragedy ini telah membungkam mulut para pengagung Mbah Marijan, menghancurkan segala pikiran batil mereka tentang sang Juru Kunci, dan menyadarkan mereka bahwa segala musibah ada di Tangan Allah Robbul alamin. Jika musibah itu datang, maka tak ada yang mampu mencegahnya, kecuali Allah -Azza wa Jalla-. Adapun Mbah Marijan dan semodelnya, maka ia hanyalah ibarat semut yang tidak berdaya di hadapan musibah yang Allah turunkan. Selayaknya ia hanya berdoa memohon kepada Allah -Azza wa Jalla- keselamatan dari bahaya letusan Merapi, bukan menobatkan dirinya pengatur Merapi. Sebab itu bukanlah jabatannya dari Allah. Para malaikat saja tak mampu mengatur alam semesta, tanpa seijin Allah -Azza wa Jalla-. Nah, lantas kenapa Mbah Marijan yang amat lemah dan amat hina, tiba-tiba menobatkan dirinya seperti tuhan yang mampu mengatur Allah semesta (dalam hal ini Merapi)? Sungguh suatu hal yang aneh lagi mungkar!!
* Penyimpangan Tauhid Rububiyyah
Para pembaca yang budiman, beriman kepada Allah tak mungkin akan sempurna, kecuali men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam tiga perkara: Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asmaa’ wash Shifaat (nama-nama dan sifat Allah).
Seorang yang mengesakan Allah dalam RUBUBIYYAH-nya, ia mengesakan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang khusus bagi Allah. Tak ada yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu, selain Allah -Azza wa Jalla- , seperti: al-kholqu (mencipta), ar-rizqu (memberi rezki), at-tadbir (mengatur alam semesta), al-imaatah (mematikan), al-ihyaa’ (menghidupkan), an-naf’u wadh dhurru (memberi manfaat dan madhorot), dan lainnya.
Seorang yang men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam perkara ULUHIYYAH (penyembahan), ia akan mengesakan Allah dalam penyembahan dan peribadahan kepada-Nya. Dia tak akan mengarahkan ibadahnya kepada makhluk, baik itu nabi, malaikat atau yang lainnya. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 8) oleh Syaikh Muhammad Al-Khumayyis]
Seorang yang men-tauhid-kan Allah dalam nama dan sifat-sifat-Nya, ia akan meyakini bahwa tak ada makhluk yang memiliki nama atau sifat yang menyerupai nama atau sifat Allah sedikitpun
Jika kita melihat dan memperhatikan kehidupan Mbah Marijan , maka ia keliru dalam tiga dalam perkara ini. Dia telah berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan para makhluk.
Lihatlah dalam perkara rububiyyah, ia telah menobatkan dirinya sebagai “Juru Kunci Merapi” yang mampu mengatur Merapi. Menurutnya, dia yang menentukan meletus tidaknya Merapi. Dia menyangka bahwa dirinya mampu mengatur alam semesta (dalam hal ini Merapi). Padahal tak ada yang mampu mengatur urusan alam semesta, semuanya ada di Tangan Allah -Azza wa Jalla-. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”.(QS. As-Sajdah : 5)
Allah -Ta’ala- berfirman dalam (QS. Asy-Syuuro: 12),
“Kepunyaan-Nya-lah kunci-kunci langit dan bumi. Dia melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Allah yang mengatur alam semesta (langit dan dunia). Dia-lah yang menentukan hasil dan akibat setiap makhluk-Nya, sebab Dia-lah yang menciptakannya, bukan makhluk yang menciptakannya!! [Lihat Fathul Qodir (3/344) oleh Al-Imam Asy-Syaukaniy]
Kemaslahatan hamba yang berkaitan dengan dunia dan akhiratnya, semuanya ada dalam pengaturan Allah. Musibah dan keburukan yang menimpa sebagian hamba-Nya, semuanya dalam pengaturan Allah. Makhluk tak memiliki campur tangan di dalamnya!!
Dari sini anda mengetahui kesalahan fatal Mbah Marijanyang melantik dirinya sebagai sang Pengatur Merapi. Sungguh ini adalah kelancangan kepada Allah Sang Pencipta!! Kesalahan fatal ini tak pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, sebab mereka tak pernah mengaku bahwa sesembahan batil mereka mampu mengatur alam semesta (misalnya, gunung). Dengarkan pengakuan mereka dalam Al-Qur’an (QS. Yunus : 31),
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[ dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
Perhatikan saat mereka ditanya tentang siapa yang mengatur urusan alam semesta, maka mereka mengembalikannya kepada Allah, bukan kepada sembahan-sembahan batil mereka. Adapun sebagian manusia jahil hari ini, maka mereka mengembalikan pengaturan alam semesta kepada Mbah Marijan. Subhanallah, ini adalah kebodohan dalam berpikir, lebih bodoh dibandingkan kaum kafir Quraisy.
* Penyimpangan dalam Tauhid Uluhiyyah
Kesalahan fatal lainnya yang dilakukan oleh Mbah Marijan, ia sering memimpin ritual-ritual syirik yang diadakan disekitar Gunung Merapi, berupa ritual dan ibadah penyembelihan dan persembahan hewan ternak atau yang lainnya kepada selain Allah, berdoa kepada para penguasa Merapi yang ia yakini dari kalangan setan-setan Merapi.
Berdoa kepada selain Allah dan menyembelih untuk selain Allah dari kalangan makhluk (seperti, malaikat, manusia atau jin) merupakan kemusyrikanterbesar di sisi Allah -Azza wa Jalla-!!! Karenanya, Allah -Ta'ala- berfirman,
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.(QS. Al-Jin : 18)
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Allah -Ta'ala- berfirman dalam memerintahkan para hamba-Nya agar mengesakan Allah dalam perkara-perkara ibadah. Tak boleh seorang makhluk pun diseru (dimohon) bersama-Nya dan tak boleh pula dipersekutukan bersama Allah sebagaimana kata Qotadah tentang firman Allah (lalu beliau menyebutkan ayat di atas), “Dulu orang-orang Yahudi dan Nashoro, jika mereka masuk ke dalam gereja-gereja dan tempat ibadah mereka, maka mereka menyekutukan Allah (berbuat syirik). Lantaran itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk men-tauhid-kan Allah (mengesakan-Nya)”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/244)]
Seorang muslim dilarang keras berdoa dan berlindung kepada makhluk, baik itu berupa malaikat, manusia, jin dan lainnya, sebab ini adalah kesyirikan ‘menyekutukan Allah’ yang telah menjadi symbol pembeda antara penganut agama paganisme (penyembah berhala) dengan penganut agama tauhid ‘agama Islam’. Agama paganisme mengajak kepada penyembahan makhluk, sedang Islam menentangnya dengan keras, dan tak mau menyembah sembahan apapun, kecuali Allah saja!!
Oleh karenanya, perbuatan dan ritual ibadah yang digandrungi Mbah Marijan (berupa persembahan kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada para makhluk halus, takut dan berharap kepada mereka), semua itu bukanlah bagian Islam, bahkan ia adalah ajaran paganisme yang bersumber ajaran Hindu-Buddha, animisme, dan kejawen. Adapun dalam Islam, maka semua bentuk ibadah seperti itu, tak boleh kita berikan dan persembahkan, kecuali untuk Allah, Pemilik dan Pencipta alam semesta.
Allah -Ta’ala- memerintahkan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- demi menyelisihi kaum musyrikin paganisme yang gandrung menyembelih untuk sesembahan mereka yang batil,
“Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. Al-An’aam: 162)
Seorang yang menyembelih dan mengorbankan sesuatu untuk makhluk halus atau kasar akan terkena laknat dari Allah -Ta’ala-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. [HR. Muslim Al-Kitab Adhohiy (no. 1178), dan An-Nasa’iy dalam Kitab Adh-Dhohayaa (7/232)]
Syaikh Isma’il bin Abdil Ghoniy Ad-Dahlawiy -rahimahullah- berkata,“Sungguh hadits ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah termasuk amalan (ibadah) yang Allah khususkan untuk mengagungkan diri-Nya. Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat syirik (menyekutukan Allah)”.[Lihat Risalah At-Tauhid (hal. 117)]
Para pembaca yang budiman, menyembelih untuk selain Allah termasuk dosa syirik yang bisa menyebabkan seorang muslim keluar dari agama-Nya. Jadi, Mbah Marijan yang begini pekerjaan dan kelakuannya telah melakukan pelanggaran besar di sisi Allah. Adapun matinya Mbah Marijan dalam posisi sujud, maka itu tak boleh dijadikan argument bahwa ia mati istiqomah alias mati baik ‘husnul khotimah’, dengan beberapa alasan:
* Konon kabarnya, dia bersujud ke arah selatan
* Tak ada bukti kongkrit bahwa ia bertobat. Kalaupun ia tobat, maka tobatnya bukan lagi pada waktunya, sebab ia telah berada di ambang kematian, sedang tobat seperti ini tak diterima lagi.
* Mbah Marijan bersujud usai sholat Ashar, dan berada antara kamar mandi dan dapur. Lantas sujud apakah itu?
* Mungkin saja ia tak bersujud pada hakikatnya, tapi ia jatuh tersungkur.
* Anggaplah ia bersujud dan mati dalam keadaan sholat, tapi perlu diketahui bahwa kaum musyrikin Quraisy juga sholat. Namun sholat mereka tak berguna, karena mereka berbuat syirik.
* Detik-detik terakhir sebelum meletusnya Merapi, Mbah Marijan masih bersikeras dengan sikap dan posisi kesombongannya sebagai KUNCEN ‘Juru Kunci Merapi’.
* Dia diperintah turun saat musibah dekat, tapi ia nekad. Ini jelas bunuh diri!!
Dengan beberapa argument tersebut, dan yang lainnya, maka para pengagung dan simpatisan si Mbah Marijan tak boleh merasa bangga dan bergembira dengan kematiannya, lalu menyatakan bahwa ia mati husnul khotimah. Bahkan kita khawatirkan ia mati kafir, sebab kesyirikannya!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 183 Tahun III. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.
Link sumber : http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/kemana-mbah-marijan.html
Wanita Penghuni Neraka
Saudariku Muslimah … .
Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.
Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.
Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.
Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)
Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)
Selengkapnya baca di :http://www.muslim-sunni.co.cc/2010/12/wanita-penghuni-neraka.html
Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.
Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.
Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.
Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)
Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)
Selengkapnya baca di :http://www.muslim-sunni.co.cc/2010/12/wanita-penghuni-neraka.html
MEWASPADAI BAHAYA PEMAHAMAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
BERIKUT ADALAH KAJIAN BERSAMA AL-USTADZ LUQMAN BA'ABDUH, DI MASJID AGUNG DARUS SALAM PURBALINGGA.
Dengan tema: "MEWASPADAI BAHAYA PEMAHAMAN JARINGAN ISLAM LIBERAL"
Ada hikmah di balik diciptakannya kebatilan dan para pembelanya di tengah-tengah umat. Dengan kebatilan itu tampaklah jurang pemisah antara kebenaran dan kebatilan, Islam dan kufur, serta ketaatan dan kemaksiatan. Dengan itu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan yang hak untuk menghancurkan yang batil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (Al-Anbiya: 18)
Allah telah membongkar niat-niat jahat dan keberadaan para penyokong kebatilan itu seperti dinyatakan dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللَّهُ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali ‘Imran: 7)
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal dia bukan dari Al-Kitab. Dan mereka mengatakan (bahwa yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78)
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 176)
Dengan tema: "MEWASPADAI BAHAYA PEMAHAMAN JARINGAN ISLAM LIBERAL"
Ada hikmah di balik diciptakannya kebatilan dan para pembelanya di tengah-tengah umat. Dengan kebatilan itu tampaklah jurang pemisah antara kebenaran dan kebatilan, Islam dan kufur, serta ketaatan dan kemaksiatan. Dengan itu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan yang hak untuk menghancurkan yang batil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (Al-Anbiya: 18)
Allah telah membongkar niat-niat jahat dan keberadaan para penyokong kebatilan itu seperti dinyatakan dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللَّهُ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali ‘Imran: 7)
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal dia bukan dari Al-Kitab. Dan mereka mengatakan (bahwa yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78)
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 176)
HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM
“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
Selasa, 23 November 2010
Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah
Berikut ini kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar, berupa kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang shohih.
Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
-Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam bersabda :
"Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”
-Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang nampak di awal bulan. Dan bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata :
“Bulan (itu) begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga (yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian apabila bulan
tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan itu tiga puluh.”
Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.
-Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat Al- Baqaroh ayat 185 :
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat Dalam Puasa
-Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena
Allah Ta’ala.
-Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
-Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
-Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
-Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
-Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali pada pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho` atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam pada hari ‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. AllahSubhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
-Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :
“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”
-Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam selang waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu
riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
-Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur secara bersama.
-Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”
-Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
-Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iydan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda :
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada ditangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana tersebut).”
Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.
Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si muadzdzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
- Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang yang ragu di atas masih boleh makan dan minum.
5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
-Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
-Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
-Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di atas, dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary :
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada puasanya, -pent.).”
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
- Meninggalkan puasa wishol.
Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka.
Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama. Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam menyatakan :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol, maka para sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya diberi (kekuatan) makan dan minum.”
6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh
Baginya Untuk Berpuasa.
-Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.
Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama berdasarkan hadits di atas.
-Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.
-Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.
Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.”
Dan dalam riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap wudhu`.”
Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan berpuasa atau tidak.
-Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”
Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak.
-Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.
- Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.
-Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya.
Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya.”
-Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.
-Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.
-Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya :
“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”
-Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya.
Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.
7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa
-Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh karena bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk berbuka. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan donor darah. Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”
- Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :
“Sesungguhnya seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut) dan datang laki-laki lain bertanya kepadanya dan beliaupun melarangnya (untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan padanya adalah orang yang sudah tua dan yang dilarang adalah seseorang yang masih muda.”
-Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur.”
8. Pembatal-Pembatal Puasa.
-Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya. Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”
Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah puasanya.
-Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna makan dan minum.
-Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.
-Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
-Haid dan nifas.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
-Bersetubuh.
Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.
9. Berbuka Puasa.
-Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam danmalampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu :
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”
-Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy Radhiyallahu 'anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim :
“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”
Bahkan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :
“Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”
-Dan Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan ruthob maka beliau berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam beliau berkata :
“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka dengan beberapa teguk air.
-Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.
-Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila seseorang memberikan makanan buka puasa pada saudaranya yang berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu 'Anhu riwayat Ahmad, At- Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”
10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa
-Musafir
Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”
Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari'at bagi orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam perjalanan yang meletihkan.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi'I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau berkata :
“Saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin 'Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”
Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :
“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Abdullah bin
Rawahah.”
Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus untuk mengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.
-Orang yang sakit.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
-Wanita haid atau nifas
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”
Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha riwayat Imam Al-Bukhary :
“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: "apakah kamu nifas," maka saya menjawab : "Ya." Lalu beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.” Pertanyaan beliau : "Apakah kamu nifas" padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alaihi wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.
-Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa
-Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184.
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan
(Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah
setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)
11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.
-Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :
1. Musafir.
2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.
Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
3. Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh sebagaimana yang telah dijelaskan.
4. Muntah dengan Sengaja
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
5. Makan dan Minum Dengan Sengaja.
Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia tinggalkan.
Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap berpuasa satu bulan penuh.
6. Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.
-Waktu Untuk meng-qodho`
Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
-Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau secara terpisah.
-Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang afdhol (lebih utama).
Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala :
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)
- Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk mengqodho` puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah akan mengakhirkan qadho`nya setelah Ramadhan karena mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.
-Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah
mengganti puasanya kapan ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)
Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka wajib atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”
Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk mengqodho` puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)
12. Ketentuan Membayar Fidyah.
-Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:
1. Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
2. Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan
kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu Abbas :
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)
3. Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad yang shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah) kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang tidak bisa sembuh.”
-Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejumlah hari
yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.
-Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.
-Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.
-Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu makanan dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.
-Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau negeri.
-Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Membayar Kaffarah.
-Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:
1. Melakukan hubungan suami istri.
2. Melakukannya di siang hari Ramadhan.
Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnya kaffarah.
3. Dalam keadaan berpuasa.
Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan seperti ini tidak dikenakan kaffarah.
-Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakan kaffarah atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan intim.
-Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga jenis kaffarah berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya :
1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut pendapat yang paling kuat.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.
3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.
-Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.
-Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayarnya.
Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya sedang berpuasa}2.” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat
memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.”
14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.
-Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab.
Hal ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.
-Mempercepat makan sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
-Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur
Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang diperdengarkan sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin ‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan waktu adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
-Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur
Dan in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
-Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu`
Ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.
-Anggapan tidak bolehnya menelan ludah
Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa. Tidakkah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syari’at Islam.
-Mengakhirkan buka puasa
Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kami jelaskan.
-Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
-Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.
-Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.
-Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.
Demikian tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam.
Catatan Kaki
1 Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang bahwa pendapat yang
kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus berkaitan dengan
tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul Muwaffiq.
2 Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.
Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
-Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam bersabda :
"Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”
-Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang nampak di awal bulan. Dan bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata :
“Bulan (itu) begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga (yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian apabila bulan
tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan itu tiga puluh.”
Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.
-Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat Al- Baqaroh ayat 185 :
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat Dalam Puasa
-Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena
Allah Ta’ala.
-Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
-Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
-Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
-Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
-Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali pada pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho` atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam pada hari ‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. AllahSubhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
-Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :
“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”
-Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam selang waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu
riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
-Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur secara bersama.
-Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”
-Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
-Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iydan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda :
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada ditangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana tersebut).”
Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.
Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si muadzdzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
- Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang yang ragu di atas masih boleh makan dan minum.
5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
-Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
-Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
-Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di atas, dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary :
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada puasanya, -pent.).”
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
- Meninggalkan puasa wishol.
Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka.
Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama. Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam menyatakan :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol, maka para sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya diberi (kekuatan) makan dan minum.”
6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh
Baginya Untuk Berpuasa.
-Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.
Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama berdasarkan hadits di atas.
-Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.
-Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.
Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.”
Dan dalam riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap wudhu`.”
Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan berpuasa atau tidak.
-Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”
Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak.
-Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.
- Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.
-Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya.
Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya.”
-Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.
-Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.
-Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya :
“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”
-Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya.
Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.
7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa
-Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh karena bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk berbuka. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan donor darah. Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”
- Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :
“Sesungguhnya seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut) dan datang laki-laki lain bertanya kepadanya dan beliaupun melarangnya (untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan padanya adalah orang yang sudah tua dan yang dilarang adalah seseorang yang masih muda.”
-Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur.”
8. Pembatal-Pembatal Puasa.
-Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya. Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”
Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah puasanya.
-Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna makan dan minum.
-Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.
-Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
-Haid dan nifas.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
-Bersetubuh.
Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.
9. Berbuka Puasa.
-Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam danmalampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu :
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”
-Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy Radhiyallahu 'anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim :
“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”
Bahkan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :
“Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”
-Dan Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan ruthob maka beliau berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam beliau berkata :
“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka dengan beberapa teguk air.
-Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.
-Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila seseorang memberikan makanan buka puasa pada saudaranya yang berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu 'Anhu riwayat Ahmad, At- Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”
10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa
-Musafir
Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”
Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari'at bagi orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam perjalanan yang meletihkan.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi'I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau berkata :
“Saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin 'Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”
Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :
“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Abdullah bin
Rawahah.”
Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus untuk mengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.
-Orang yang sakit.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
-Wanita haid atau nifas
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”
Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha riwayat Imam Al-Bukhary :
“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: "apakah kamu nifas," maka saya menjawab : "Ya." Lalu beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.” Pertanyaan beliau : "Apakah kamu nifas" padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alaihi wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.
-Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa
-Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184.
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan
(Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah
setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)
11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.
-Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :
1. Musafir.
2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.
Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
3. Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh sebagaimana yang telah dijelaskan.
4. Muntah dengan Sengaja
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
5. Makan dan Minum Dengan Sengaja.
Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia tinggalkan.
Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap berpuasa satu bulan penuh.
6. Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.
-Waktu Untuk meng-qodho`
Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
-Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau secara terpisah.
-Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang afdhol (lebih utama).
Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala :
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)
- Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk mengqodho` puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah akan mengakhirkan qadho`nya setelah Ramadhan karena mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.
-Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah
mengganti puasanya kapan ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)
Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka wajib atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”
Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk mengqodho` puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)
12. Ketentuan Membayar Fidyah.
-Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:
1. Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
2. Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan
kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu Abbas :
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)
3. Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad yang shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah) kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang tidak bisa sembuh.”
-Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejumlah hari
yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.
-Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.
-Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.
-Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu makanan dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.
-Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau negeri.
-Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Membayar Kaffarah.
-Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:
1. Melakukan hubungan suami istri.
2. Melakukannya di siang hari Ramadhan.
Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnya kaffarah.
3. Dalam keadaan berpuasa.
Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan seperti ini tidak dikenakan kaffarah.
-Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakan kaffarah atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan intim.
-Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga jenis kaffarah berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya :
1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut pendapat yang paling kuat.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.
3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.
-Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.
-Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayarnya.
Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya sedang berpuasa}2.” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat
memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.”
14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.
-Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab.
Hal ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.
-Mempercepat makan sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
-Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur
Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang diperdengarkan sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin ‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan waktu adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
-Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur
Dan in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
-Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu`
Ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.
-Anggapan tidak bolehnya menelan ludah
Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa. Tidakkah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syari’at Islam.
-Mengakhirkan buka puasa
Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kami jelaskan.
-Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
-Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.
-Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.
-Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.
Demikian tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam.
Catatan Kaki
1 Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang bahwa pendapat yang
kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus berkaitan dengan
tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul Muwaffiq.
2 Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.
Sucikan Aqidah dari Noda-Noda Syirik (Pasal 2)
Pasal 2
Apabila telah jelas bagimu bahwa orang-orang musyirik tidak bermanfaat bagi mereka penetapan mereka akan adanya Allah bersamaan denagn eksyirikan mereka dalam ibadah dan tidak sesuatu apapun yang mencukupi mereka dari Allah, dan bahwa ibadah mereka adalah keyakinan mereka bahwa berhala tersebut bisa memberikan mudharat dan mafaat, bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan bisa memberikan syafaat bagi mereka di sisi Allah, sehingga mereka menyembelih berbagai penyembelihan untuk berhala-berhala tersebut, thawaf terhadap mereka, bernadzar dengan berbagai macam nadzar untuk mereka, memberikan pelayanan untuk berhala-berhala tersebut dengan penuh kerendahan diri dan sikap tawadhu’, dan sujud terhadap mereka. Bersamaan dengan perbuatan mereka ini, mereka menetapkan rububbiyyah untuk Allah, dan menetapkan bahwa Allah semata yang Maha Mencipta. Akan tetapi tatkala mereka mempersekutukan Allah dalam ibada, Allah menjadikan mereka sebagi orang musyirik dan tidak menganggap sedikitpun penetapan mereka terhadap Rububbiyyah Allah تعالى, dia harus menunggalkan Allah dalam Tauhid Ibadah. Barangsiapa yang tidak melakukan ini, maka penetapannya terhadap yang pertama (tauhid rububbiyyah) adalah bathil. Dan sungguh orang-orang musyrik mengetahui hal tersebut ketika mereka berada dalam neraka, mereka berkata :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ، إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah! Kami (dahulu) betul-betul dalam kesesatan yang nyata ketika kami menyamakan kalian (berhala-berhala) dengan Rabb alam semesta”.Qs Asy Syu’ara:97-98
Padahal orang-orang musyrik tersebut tidak menyamakan Allah dengan berhala-berhala tersebut dari sisi, dan tidak menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai pencipta dan pemberi rezki. Akan tetapi –saat mereka berada didasar jahannam- mereka mengetahui bahwa mereka mencampuradukkan penetapan tauhid Rububbiyyah Allah dengan Noda-Noda kesyirikan yang menjadikan mereka seperti orang-orang yang menyamakan antara berhala dengan Rabbnya Manusia. Allah تعالى berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidaklah beriman kepada Allah kecuali mereka melakukan kesyirikan”.Qs. Yusuf : 106
Yaitu : tidaklah kebanyakan mereka menetapkan adanya Allah dan bahwasanya hanyalah Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, melainkan mereka juga melakukan kesyirikan dengan menyembah berhala.
[Bahkan Riya termasuk Syirik]
Bahkan Allah menamakan riya’ dalam ketaatan sebagai kesyirikan, padahal pelaku ketaatan tersebut tidaklah memaksudkan ibadahnya kecuali untuk Allah تعالى, dia hanya menginginkan dengan ketaatan tersebut untuk mencari kedudukan dalam hati manusia. Maka orang yang riya’ tersebut adalah orang yang beribadah kepada Allah, bukan kepada yang lain, akan tetapi dia mencampuradukkan amalannya dengan mencari kedudukan dalam hati manusia, maka Allah tidak menerima ibadahnya dan menamakannya sebagai kesyirikan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah bersabda : Allah تعالى berfirman :
أنا أعنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu! Maka barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia persekutukan Aku dengan selain-Ku pada amalan tersebut, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.”
[Memberi Nama dengan Abdul Harits juga Kesyirikan] (1)
Catatan kaki :
(1) Pada bab ini senagja kami tidak meneruskan dikarenakan bab ini adalah suatu kesalahan dari Imam Ash Shan’ani dikarenakan beliau mengambil dalil tafsir surat Al A’raf :170 yang mana beliau menafsirkan ayat ini dengan Hadits dari Samurah رضي الله عنه. Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad (5/11), Tirmidzi (3077), Al Hakim (2/545). Dan hadits ini ternyata dhaif. Tidak bisa dijadikan hujjah dikarenakan juga berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh Al Hasan Al Bashri sesuai apa yang Al Imam Ibnu Katsir Rahimahullah terangkan dalam tafsirnya (2/274).
Turut mendhaifkan Imam Ibnu hazm sebagaimana dinukil didalam kitab Fathul Majid (513) cet darul Fikr. Syaikh Albani juga mendhaifkan di dalam Adh Dhaifah (342) begitu juga Syaikh Ahmad Syakir terhadap tafsir Ath Thabari (13/309)
Ditulis dari Kitab Tathirul I'tiqad Min Adranilhad Imam Ash Shan'ani
Apabila telah jelas bagimu bahwa orang-orang musyirik tidak bermanfaat bagi mereka penetapan mereka akan adanya Allah bersamaan denagn eksyirikan mereka dalam ibadah dan tidak sesuatu apapun yang mencukupi mereka dari Allah, dan bahwa ibadah mereka adalah keyakinan mereka bahwa berhala tersebut bisa memberikan mudharat dan mafaat, bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan bisa memberikan syafaat bagi mereka di sisi Allah, sehingga mereka menyembelih berbagai penyembelihan untuk berhala-berhala tersebut, thawaf terhadap mereka, bernadzar dengan berbagai macam nadzar untuk mereka, memberikan pelayanan untuk berhala-berhala tersebut dengan penuh kerendahan diri dan sikap tawadhu’, dan sujud terhadap mereka. Bersamaan dengan perbuatan mereka ini, mereka menetapkan rububbiyyah untuk Allah, dan menetapkan bahwa Allah semata yang Maha Mencipta. Akan tetapi tatkala mereka mempersekutukan Allah dalam ibada, Allah menjadikan mereka sebagi orang musyirik dan tidak menganggap sedikitpun penetapan mereka terhadap Rububbiyyah Allah تعالى, dia harus menunggalkan Allah dalam Tauhid Ibadah. Barangsiapa yang tidak melakukan ini, maka penetapannya terhadap yang pertama (tauhid rububbiyyah) adalah bathil. Dan sungguh orang-orang musyrik mengetahui hal tersebut ketika mereka berada dalam neraka, mereka berkata :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ، إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah! Kami (dahulu) betul-betul dalam kesesatan yang nyata ketika kami menyamakan kalian (berhala-berhala) dengan Rabb alam semesta”.Qs Asy Syu’ara:97-98
Padahal orang-orang musyrik tersebut tidak menyamakan Allah dengan berhala-berhala tersebut dari sisi, dan tidak menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai pencipta dan pemberi rezki. Akan tetapi –saat mereka berada didasar jahannam- mereka mengetahui bahwa mereka mencampuradukkan penetapan tauhid Rububbiyyah Allah dengan Noda-Noda kesyirikan yang menjadikan mereka seperti orang-orang yang menyamakan antara berhala dengan Rabbnya Manusia. Allah تعالى berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidaklah beriman kepada Allah kecuali mereka melakukan kesyirikan”.Qs. Yusuf : 106
Yaitu : tidaklah kebanyakan mereka menetapkan adanya Allah dan bahwasanya hanyalah Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, melainkan mereka juga melakukan kesyirikan dengan menyembah berhala.
[Bahkan Riya termasuk Syirik]
Bahkan Allah menamakan riya’ dalam ketaatan sebagai kesyirikan, padahal pelaku ketaatan tersebut tidaklah memaksudkan ibadahnya kecuali untuk Allah تعالى, dia hanya menginginkan dengan ketaatan tersebut untuk mencari kedudukan dalam hati manusia. Maka orang yang riya’ tersebut adalah orang yang beribadah kepada Allah, bukan kepada yang lain, akan tetapi dia mencampuradukkan amalannya dengan mencari kedudukan dalam hati manusia, maka Allah tidak menerima ibadahnya dan menamakannya sebagai kesyirikan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah bersabda : Allah تعالى berfirman :
أنا أعنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu! Maka barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia persekutukan Aku dengan selain-Ku pada amalan tersebut, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.”
[Memberi Nama dengan Abdul Harits juga Kesyirikan] (1)
Catatan kaki :
(1) Pada bab ini senagja kami tidak meneruskan dikarenakan bab ini adalah suatu kesalahan dari Imam Ash Shan’ani dikarenakan beliau mengambil dalil tafsir surat Al A’raf :170 yang mana beliau menafsirkan ayat ini dengan Hadits dari Samurah رضي الله عنه. Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad (5/11), Tirmidzi (3077), Al Hakim (2/545). Dan hadits ini ternyata dhaif. Tidak bisa dijadikan hujjah dikarenakan juga berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh Al Hasan Al Bashri sesuai apa yang Al Imam Ibnu Katsir Rahimahullah terangkan dalam tafsirnya (2/274).
Turut mendhaifkan Imam Ibnu hazm sebagaimana dinukil didalam kitab Fathul Majid (513) cet darul Fikr. Syaikh Albani juga mendhaifkan di dalam Adh Dhaifah (342) begitu juga Syaikh Ahmad Syakir terhadap tafsir Ath Thabari (13/309)
Ditulis dari Kitab Tathirul I'tiqad Min Adranilhad Imam Ash Shan'ani
Sucikan Aqidah dari Noda-Noda Syirik (Pasal 1)
Pasal 1
Apabila kamu mengetahui landasan-landasan ini maka ketahuilah bahwa Allah menjadikan ibadah kepada Nya menjadi beberapa jenis.
1. I’tiqadiyyah.
Ini Pondasi ibadah, yaitu seseorang berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala Dialah Rabb Yang Maha Esa, yang milik Nya penciptaan dan segala urusan, dan ditangan Nya manfaat dan mudharat, dan bahwa Dialah yang tidak ada sekutu bagi Nya, dan tidak satupun yang mampu memberikan syafaat di sisi Nya kecuali dengan izin Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, dan meyakini yang wajib selain dari itu yang merupakan keharusan-keharusan uluhiyyah.
2. Lafzhiyyah
Yaitu mengucapkan kalimat Tauhid. Maka barangsiapa yang meyakini apa yang disebutkan dan tidak mengucapkannya, maka darah dan hartanya tidak terjaga, dan dia seperti iblis, karena Iblis mengakui Tauhid, bahkan dia menetapkannya sebagaimana yang telah kami jelaskan, tetapi dia tidak melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ untuk sujud sehingga dia kafir.
Siapa yang mengucapkannya tidak meyakininya, maka darah dan hartanya terjaga sedangkan hisab (perhitungan)nya disisi Allah عَزَّ وَجَلَّ. Hukumnya adalah hukum orang-orang munafik.
3. badaniyyah.
Seperti berdiri, ruku’, dan sujud dalam sholat, dan diantaranya puasa dan perbuatan-perbuatan haji dan thawaf.
4. Ma’aliyyah
Seperti mengeluarkan harta dalam rangka melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Jenis jenis ibadah wajib dan sunnah yang ebrkaitan dengan harta, badan, dan ucapan sangatlah banyak tapi inilah pokoknya.
Dan apabila telaht etap perkara ini, maka ketahuilah bahwa Allah Ta’al telah mengutus para Nabi عليهم الصلاة والسلام dari yang pertama hingga yang terakhir untuk mengajak para hamba mengesakan ibadah hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ, bukan sekedar untuk menetapkan bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ Pencipta mereka, dan semisal itu. Sebab mereka telah menetapkan hal tersebut sebagaimana yang telah kamu tetapkan dan ulang-ulangi. Oleh karena itu, mereka (Musyrikin) berkata :
أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ
“Apakah kamu datang kepada kami agar kami menyembah Allah semata?”(Qs. Al A’raaf:70)
Yaitu “supaya mengesakan Nya dalam ibadah dan mengkhususkan hanya untuk Nya tanpa sesembahan-sesembahan kami yang lain?” Maka mereka tidak mengingkari kecuali perintah Rasul kepada mereka untuk menunggalkan ibadah hanya kepada Allah. Mereka tidak mengingkari Allah, dan mereka mengatakan bahwa Allah tidak disembah. Bahkan mereka menetapkan bahwa Allah disembah. Namun mereka mengingkari keadaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah, sehingga mereka menyembah sesembahan yang lain bersama Allah, dan mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain Nya, dan membuat tandinga-tandingan bagi Allah, sebagaimana firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kalian mengetahui.”(Qs. Al Baqarah : 22)
Yaitu kalian mengetahui bahwa tidak ada tandingan bagi Allah.
Dahulu orang-orang musyrik mengucapkan talbiyah mereka ketika berhaji,
"لبيك لا شريك لك إلا شريكا هو لك تملكه وما ملك"
“Aku memenuhi panggilan Mu! Tiada sekutu bagi MU, kecuali sekutu bagi Mu yang engkau menguasainya dan apa-apa yang dikuasainya”.
Dan dahulu Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم mendengar perkataan mereka “tidak ada sekutu bagi Mu”, beliau berkata : “sesungguhnya mereka telah menunggalkan Allah yang Maha Mulia, kalau mereka meninggalkan ucapan mereka ‘kecuali sekutu bagi-Mu’.” Maka kesyirikan mereka kepada Allah sekaligus penetapan mereka tenang pengibadahan Allah. Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dimanakah sembahan-semabahan kamu yang dulu kamu sangka?”(Qs. Al An’aam:22)
وَقِيلَ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ
“Dan dikatakan (kepada mereka) serulah sekutu-sekutu kalian, maka berdo’alah kepada mereka (niscaya) mereka tidak dapat mengabulkan permintaan kalian.”(Qs. Al Qashash:64)
قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلا تُنْظِرُونِ
“Katakanlah (wahai Muhammad): serulah sekutu-skutu kalian, kemudian buatlah maker kepada Ku dan jangan kalian tunda lagi.”(Qs. Al A’raf:195)
Maka menjadikan tandingan bagi Allah itu sendiri adalah penetapan tentang pengibadahan Allah. Tidaklah mereka menyembah berhala dengan penuh ketundukan, mendekatkan diri kepada mereka dengan bernadzar dan menyembelih untuk mereka, kecuali karena keyakinan mereka bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan bias memberikan syafa’at bagi mereka di hadapan Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Orang-orang musyrik terdahulu, diantara mereka ada yang menyembah malaikat dan menyeru kepada mereka ketika dalam keadaan genting, dan diantara mereka ada yang menyembah bebatuan dan menyerunya ketika genting. Maka Allah mengutus Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم yang mengajak mereka hanya mengibadahi Allah semata dan supaya mereka menunggalkan Allah sesuai dengan makna dan pelaksanaan kalimat Laa ilaaha Illallah, dalam keadaan meyakini maknanya, mengamalkan konsekuensinya, dan agar mereka tidak berdo’a kepada siapapun bersama Allah. Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman :
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Hanya kepada Allah do’a yang benar. Berhala-berhala selain Allah yang mereka minta dalam do’a tidak dapat mengabulkan apapun untuk mereka.”(Qs. Ar-Ra’d:14)
Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal apabila kalian betul-betul beriman”(Qs. Al Maaidah:23
termasuk syarat kejujuran dalam beriman kepada Allah yaitu kalian tidak bertawakal kecuali hanya kepada Nya, dan kalian menunggalkan Nya dalam do’a dan permintaan ampun. Dan Allah تعالى memerintahkan hambanya untuk mengatakan “hanya kepada Engkau lah kami menyembah”. Dan orang yang mengucapkan belumlah jujur, kecuali jika dia menunggalkan seluruh ibadah hanya kepada AAllah. Kalau tidak, dia adalah pendusta yang dilarang mengucapkan kalimat ini, karena maknanya adalah kami mengkhususkan dan menunggalkan Engkau dalam ibadah tanpa siapapun juga. Dan ini makna firman Allah تعالى :
فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ
“Maka hendaklah hanya kepada Ku lah kalian beribadah.”(Qs. Al Ankabuut:56)
Juga firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“Dan hendaknya hanya kepada Ku lah kalian bertakwa.”(Qs. Al baqarah:41)
Sebagaimana diketahui dalam Ilmu Bayan bahwa dikedepankannya sesuatu yang harusnya diakhirkan memberikan faedah pengkhususan, yaitu : janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah dan jangan menyembah selain Nya dan janganlah bertaqwa kecuali hanya kepada Allah dan jangan bertaqwa selain Nya sebagaimana dalam kitab Al Kasysyaf. Maka menunggalkan Allah Ta’ala dengan tauhidul ibadah tidaklah sempurna kecuali do’a seluruhnya hanya untuk Allah dan seluruh seruan pada waktu sulit maupun dalam keadaan senang tidaklah tertuju kecuali hanya kepada Allah semata, demikian pula istighasah dan isti’anah hanya kepada Allah, demikian juga berlindung, nadzar, menyembelih dan seluruh jenis-jenis ibadah berupa ketundukan serta berdiri dengan penuh penghunaan diri kepada Allah, ruku’, sujud, thawaf, bersih dari pakaian (yang berjahit ketika haji dan umrah), menggundul dan memendekkan rambut (ketika tahallul) semuanya tidaklah terwujud kecuali hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Maka barangsiapa yang melakukan sesuatu amalan dari amalan tersebut untuk makhluk yang hidup atau mati, atau kepada benda mati maka dia telah melakukan kesyirikan dalam ibadah. Dan jadilah makhluk yang ditujukan dalam ibadah-ibadah tersebut sebagai sesembahan yang disembah oleh para penyembahnya, baik yang disembah itu malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, jin, orang yang hidup atau yang mati. Dan jadilah orang yang beribadah dengan ibadah itu atau dengan jenis ibadah apapun sebagai hamba terhadap makhluk tersebut, sebagai orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah walaupun dia mengakui dan menyembah Allah تعالى. Sesungguhnya penetapan orang-orang musyrik akan adanya Allah تعالى dan Taqarrub (pendekatan diri) mereka kepada Nya tidaklah mengeluarkan diri mereka dari kesyirikan dan dari kewajiban untuk menumpahkan darah-darah mereka, serta menawan keluarga mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah. Allah تعالى berfirman dalam hadits qudsi :
أنا أغنى الشركاء عن الشرك
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu”.(Hr. Tirmidzi)
Allah tidak akan menerima amalan yang dalam amalan itu Dia tidaklah beriman kepada Allah seseorang yang menyembah Allah bersama dengan yang lain Nya.
Wallahu A'lam
Apabila kamu mengetahui landasan-landasan ini maka ketahuilah bahwa Allah menjadikan ibadah kepada Nya menjadi beberapa jenis.
1. I’tiqadiyyah.
Ini Pondasi ibadah, yaitu seseorang berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala Dialah Rabb Yang Maha Esa, yang milik Nya penciptaan dan segala urusan, dan ditangan Nya manfaat dan mudharat, dan bahwa Dialah yang tidak ada sekutu bagi Nya, dan tidak satupun yang mampu memberikan syafaat di sisi Nya kecuali dengan izin Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, dan meyakini yang wajib selain dari itu yang merupakan keharusan-keharusan uluhiyyah.
2. Lafzhiyyah
Yaitu mengucapkan kalimat Tauhid. Maka barangsiapa yang meyakini apa yang disebutkan dan tidak mengucapkannya, maka darah dan hartanya tidak terjaga, dan dia seperti iblis, karena Iblis mengakui Tauhid, bahkan dia menetapkannya sebagaimana yang telah kami jelaskan, tetapi dia tidak melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ untuk sujud sehingga dia kafir.
Siapa yang mengucapkannya tidak meyakininya, maka darah dan hartanya terjaga sedangkan hisab (perhitungan)nya disisi Allah عَزَّ وَجَلَّ. Hukumnya adalah hukum orang-orang munafik.
3. badaniyyah.
Seperti berdiri, ruku’, dan sujud dalam sholat, dan diantaranya puasa dan perbuatan-perbuatan haji dan thawaf.
4. Ma’aliyyah
Seperti mengeluarkan harta dalam rangka melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Jenis jenis ibadah wajib dan sunnah yang ebrkaitan dengan harta, badan, dan ucapan sangatlah banyak tapi inilah pokoknya.
Dan apabila telaht etap perkara ini, maka ketahuilah bahwa Allah Ta’al telah mengutus para Nabi عليهم الصلاة والسلام dari yang pertama hingga yang terakhir untuk mengajak para hamba mengesakan ibadah hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ, bukan sekedar untuk menetapkan bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ Pencipta mereka, dan semisal itu. Sebab mereka telah menetapkan hal tersebut sebagaimana yang telah kamu tetapkan dan ulang-ulangi. Oleh karena itu, mereka (Musyrikin) berkata :
أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ
“Apakah kamu datang kepada kami agar kami menyembah Allah semata?”(Qs. Al A’raaf:70)
Yaitu “supaya mengesakan Nya dalam ibadah dan mengkhususkan hanya untuk Nya tanpa sesembahan-sesembahan kami yang lain?” Maka mereka tidak mengingkari kecuali perintah Rasul kepada mereka untuk menunggalkan ibadah hanya kepada Allah. Mereka tidak mengingkari Allah, dan mereka mengatakan bahwa Allah tidak disembah. Bahkan mereka menetapkan bahwa Allah disembah. Namun mereka mengingkari keadaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah, sehingga mereka menyembah sesembahan yang lain bersama Allah, dan mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain Nya, dan membuat tandinga-tandingan bagi Allah, sebagaimana firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kalian mengetahui.”(Qs. Al Baqarah : 22)
Yaitu kalian mengetahui bahwa tidak ada tandingan bagi Allah.
Dahulu orang-orang musyrik mengucapkan talbiyah mereka ketika berhaji,
"لبيك لا شريك لك إلا شريكا هو لك تملكه وما ملك"
“Aku memenuhi panggilan Mu! Tiada sekutu bagi MU, kecuali sekutu bagi Mu yang engkau menguasainya dan apa-apa yang dikuasainya”.
Dan dahulu Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم mendengar perkataan mereka “tidak ada sekutu bagi Mu”, beliau berkata : “sesungguhnya mereka telah menunggalkan Allah yang Maha Mulia, kalau mereka meninggalkan ucapan mereka ‘kecuali sekutu bagi-Mu’.” Maka kesyirikan mereka kepada Allah sekaligus penetapan mereka tenang pengibadahan Allah. Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dimanakah sembahan-semabahan kamu yang dulu kamu sangka?”(Qs. Al An’aam:22)
وَقِيلَ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ
“Dan dikatakan (kepada mereka) serulah sekutu-sekutu kalian, maka berdo’alah kepada mereka (niscaya) mereka tidak dapat mengabulkan permintaan kalian.”(Qs. Al Qashash:64)
قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلا تُنْظِرُونِ
“Katakanlah (wahai Muhammad): serulah sekutu-skutu kalian, kemudian buatlah maker kepada Ku dan jangan kalian tunda lagi.”(Qs. Al A’raf:195)
Maka menjadikan tandingan bagi Allah itu sendiri adalah penetapan tentang pengibadahan Allah. Tidaklah mereka menyembah berhala dengan penuh ketundukan, mendekatkan diri kepada mereka dengan bernadzar dan menyembelih untuk mereka, kecuali karena keyakinan mereka bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan bias memberikan syafa’at bagi mereka di hadapan Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Orang-orang musyrik terdahulu, diantara mereka ada yang menyembah malaikat dan menyeru kepada mereka ketika dalam keadaan genting, dan diantara mereka ada yang menyembah bebatuan dan menyerunya ketika genting. Maka Allah mengutus Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم yang mengajak mereka hanya mengibadahi Allah semata dan supaya mereka menunggalkan Allah sesuai dengan makna dan pelaksanaan kalimat Laa ilaaha Illallah, dalam keadaan meyakini maknanya, mengamalkan konsekuensinya, dan agar mereka tidak berdo’a kepada siapapun bersama Allah. Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman :
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Hanya kepada Allah do’a yang benar. Berhala-berhala selain Allah yang mereka minta dalam do’a tidak dapat mengabulkan apapun untuk mereka.”(Qs. Ar-Ra’d:14)
Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal apabila kalian betul-betul beriman”(Qs. Al Maaidah:23
termasuk syarat kejujuran dalam beriman kepada Allah yaitu kalian tidak bertawakal kecuali hanya kepada Nya, dan kalian menunggalkan Nya dalam do’a dan permintaan ampun. Dan Allah تعالى memerintahkan hambanya untuk mengatakan “hanya kepada Engkau lah kami menyembah”. Dan orang yang mengucapkan belumlah jujur, kecuali jika dia menunggalkan seluruh ibadah hanya kepada AAllah. Kalau tidak, dia adalah pendusta yang dilarang mengucapkan kalimat ini, karena maknanya adalah kami mengkhususkan dan menunggalkan Engkau dalam ibadah tanpa siapapun juga. Dan ini makna firman Allah تعالى :
فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ
“Maka hendaklah hanya kepada Ku lah kalian beribadah.”(Qs. Al Ankabuut:56)
Juga firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“Dan hendaknya hanya kepada Ku lah kalian bertakwa.”(Qs. Al baqarah:41)
Sebagaimana diketahui dalam Ilmu Bayan bahwa dikedepankannya sesuatu yang harusnya diakhirkan memberikan faedah pengkhususan, yaitu : janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah dan jangan menyembah selain Nya dan janganlah bertaqwa kecuali hanya kepada Allah dan jangan bertaqwa selain Nya sebagaimana dalam kitab Al Kasysyaf. Maka menunggalkan Allah Ta’ala dengan tauhidul ibadah tidaklah sempurna kecuali do’a seluruhnya hanya untuk Allah dan seluruh seruan pada waktu sulit maupun dalam keadaan senang tidaklah tertuju kecuali hanya kepada Allah semata, demikian pula istighasah dan isti’anah hanya kepada Allah, demikian juga berlindung, nadzar, menyembelih dan seluruh jenis-jenis ibadah berupa ketundukan serta berdiri dengan penuh penghunaan diri kepada Allah, ruku’, sujud, thawaf, bersih dari pakaian (yang berjahit ketika haji dan umrah), menggundul dan memendekkan rambut (ketika tahallul) semuanya tidaklah terwujud kecuali hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Maka barangsiapa yang melakukan sesuatu amalan dari amalan tersebut untuk makhluk yang hidup atau mati, atau kepada benda mati maka dia telah melakukan kesyirikan dalam ibadah. Dan jadilah makhluk yang ditujukan dalam ibadah-ibadah tersebut sebagai sesembahan yang disembah oleh para penyembahnya, baik yang disembah itu malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, jin, orang yang hidup atau yang mati. Dan jadilah orang yang beribadah dengan ibadah itu atau dengan jenis ibadah apapun sebagai hamba terhadap makhluk tersebut, sebagai orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah walaupun dia mengakui dan menyembah Allah تعالى. Sesungguhnya penetapan orang-orang musyrik akan adanya Allah تعالى dan Taqarrub (pendekatan diri) mereka kepada Nya tidaklah mengeluarkan diri mereka dari kesyirikan dan dari kewajiban untuk menumpahkan darah-darah mereka, serta menawan keluarga mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah. Allah تعالى berfirman dalam hadits qudsi :
أنا أغنى الشركاء عن الشرك
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu”.(Hr. Tirmidzi)
Allah tidak akan menerima amalan yang dalam amalan itu Dia tidaklah beriman kepada Allah seseorang yang menyembah Allah bersama dengan yang lain Nya.
Wallahu A'lam
Bingkisan untuk Panitia OSPEK
Dahulu kala ummat manusia telah mengenal diktator-diktator sadis yang memerintah dengan tangan-tangan besi. Dari zaman ke zaman, dunia melahirkan diktator-diktator sadis yang tak berprikemanusian, dan melenceng jauh dari tuntunan Allah -Azza wa Jalla-. Masih segar dalam ingatan kita beberapa diktator yang pernah ada di dunia, seperti Raja Namrud, Fir’aun, Hittler, Napoleon Bonaparte, Jengis Khan, dan sebagainya. Mereka adalah orang-orang zholim dan sewenang-wenang atas hamba-hamba Allah.
Jarum waktu senantiasa berjalan sampai lahirlah kompilasi (gabungan) diktator-diktator sadis gaya baru yang masuk dalam dunia pendidikan dan almamater melalui pintu "OSPEK" (Orietasi Pengenalan Kampus). Jika dahulu para diktator jumlahnya sedikit, maka sekarang beda halnya. Jumlahnya menjamur bak jamur di musim hujan, khususnya saat penerimaan MABA (Mahasiswa Baru). Maka muncullah diktator-diktator (yaitu, para mahasiswa senior) menampakkan taring keganasan mereka, siap menzholimi para hamba Allah dari kalangan MABA dengan berkedok "Orientasi". Aksi zholim seperti ini Anda bisa lihat -khususnya- di kota Makassar, Sulsel, saat penerimaan MABA di sebagian perguruan tinggi.
Kezholiman dan penyiksaan yang diperbuat oleh para mahasiswa senior atas MABA sungguh telah melampaui batas; melebihi kezholiman para diktator tersebut, dan orang-orang komunis (PKI). Perhatikan, para diktator (baca: para senior) itu menzholimi dan menyiksa hamba-hamba Allah; para senior memukuli mereka, mengurung, menakut-nakuti, mengadu MABA, menampar, melukai, mengambil uang mereka secara batil, menodai wanita, menghina kehormatan saudaranya, bahkan memerintahkan para MABA (Junior) untuk melakukan kekafiran dan kesyirikan, seperti bersujud di depan mumi, atau sebuah patung yang mereka buat. Sungguh perbuatan ini telah melampaui batasan Allah. Para senior tak lagi takut kepada Allah -Ta’ala-; seakan-akan mereka tak lagi memiliki Tuhan yang akan menghisab dan membalas kezholiman mereka.
OSPEK , singkatan untuk: "Orientasi Pengenalan Kampus". Nampaknya manis, tapi hakikatnya pahit dan beracun. Singkatan ini baiknya diubah arti dan maknanya sehingga kita katakan, OSPEK adalah singkatan bagi "Orientasi Penyiksaan Kampus".
Diantara bentuk pelanggaran, dan kezholiman yang terjadi dalam OSPEK, dilakoni oleh para mahasiswa senior:
* Penyiksaan Hamba-hamba Allah
Para senior menyiksa para mahasiswa baru (junior) dalam OSPEK adalah perkara yang sudah menjadi rahasia umum; mulai dari kengkreng, mencambuk, memukul, menempeleng, merendam orang, merayap dalam jarak jauh, menendang, melukai, dan lainnya. Para senior telah lepas kontrol, seakan binatang buas menyeruduk, dan melakukan apa saja yang mereka inginkan; seakan manusia purba yang hidup tanpa aturan, dan bergaya anarkis. Demi Allah, mereka akan dihisab, dan disiksa oleh Allah. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعَذِّبُ الَّذِيْنَ يُعَذِّبُوْنَ النَّاسَ فِيْ الدُّنْيَا
"Sesungguhnya Allah -Azza wa Jalla- akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia". [HR. Muslim (2613), dan Abu Dawud (3045)]
Bentuk penyiksaan yang sering dilakukan oleh senior, memukul para junior, bahkan menampar wajahnya yang mulia. Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Adapun memukul wajah, maka hal itu terlarang pada setiap hewan yang terhormat berupa manusia, keledai, kuda, onta, bagal,kambing, dan lainnya. Tapi hal itu pada manusia lebih bermasalah, karena wajah adalah pusat keindahan. Disamping itu, wajah juga lembut, karena akan nampak padanya bekas pukulan. Terkadang pukulan itu akan merusaknya, dan mengganggu sebagian panca indra". [Lihat Syarh Shohih Muslim (14/323)]
* Membuat Orang Marah, dan Jengkel
Menyayangi, dan menghormati orang-orang yang lebih rendah kedudukannya (seperti, orang miskin, mahasiswa junior, anak kecil, dan lainnya) adalah perkara yang dianjurkan oleh agama kita. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang tidak menyayangi orang kecil diantara kami, dan tidak mengenal hak orang besar (orang tua) diantara kami, maka ia bukan termasuk golongan kami". [HR. Abu Dawud (4943), dan At-Tirmidziy (1920)]
Orang-orang yang tidak menyayangi, dan tak menghormati orang-orang kecil dan rendahan, maka mereka tak disayangi oleh Allah. Bahkan mereka telah membuat Allah murka kepadanya, jika ia membuat orang-orang rendahan jadi marah dan jengkel. Amr bin A’idz Al-Muzaniy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ أَتَى عَلَى سَلْمَانَ وَ صُهَيْبٍ وَبِلاَلٍ فِيْ نَفَرٍ فَقَالُوْا: وَاللهِ, مَا أَخَذَتْ سُيُوْفُ اللهِ مِنْ عُنُقِ عَدُوِّ اللهِ مَأْخَذَهَا قَالَ: فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَتَقُوْلُوْنَ هَذَا لِشَيْخِ قُرَيْشٍ وَسَيِّدِهِمْ ؟ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ, لَعَلَّكَ أَغْضَبْتَهُمْ, لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبْتَ رَبَّكَ
"Abu Sufyan pernah datang (waktu itu masih musyrik, -pen) kepada Salman, Shuhaib, dan Bilal bersama rombongan. Mereka pun (Salman, dkk) berkata, "Demi Allah, pedang-pedang Allah belum mengenai leher musuh-musuh Allah". Amer bin A’idz berkata, "Abu Bakar berkata, "Apakah kalian mau mengucapkan hal seperti ini kepada Orang tua dan Pemimpin Quraisy ini (yakni, Abu Sufyan)? Lalu Abu Bakar pun datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya mengabarkan kejadian itu. Beliau bersabda, "Wahai Abu Bakar, barangkali engkau telah membuat mereka marah. Jika kau telah membuat mereka marah, maka kau telah membuat Robb-mu marah". [HR. Muslim (2504)]
Al-Imam Abu Zakariyya’ An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat keutamaan yang jelas bagi Salman, dan kawan-kawan mereka ini. Di dalamnya juga terdapat (anjuran) untuk menjaga hati (perasaan) orang-orang lemah, orang yang beragama; memuliakan, dan bersikap lembut kepada mereka". [Lihat Al-Minhaj (16/66)]
Jadi, membuat orang-orang lemah dan rendahan jadi marah dan tersinggung merupakan perkara yang tercela dalam Islam. Apalagi jika orang lemah adalah orang yang sholeh dan beragama.
* Memperolok-olok & Menghina Junior
Kata-kata kotor dan hina yang keluar dari mulut-mulut mahasiswa senior dalam OSPEK ketika menghina, dan memperolok-olokkan junior; sudah menjadi menjadi lumrah dan halal di sisi para senior. Padahal Allah melarang kita menghina yang lain,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan (menghina) kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan (menghina) kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri, dan janganlah melakukan tanabuz (memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan). seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim". (QS. Al-Hujuraat: 11).
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- berkata dalam memaknai ayat ini, "Janganlah seorang diantara kalian mencela saudaranya, dan menggelarinya dengan gelar-gelar hina yang ia benci jika disematkan kepadanya. Inilah tanabuz. Adapun gelar-gelar yang tak tercela, maka ia tak masuk dalam hal ini". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal.801)]
Menghina MABA dengan gelar-gelar jelek adalah hal yang lumrah dilakukan oleh senior mereka, misalnya senior menggelari MABA dengan "si Gundul", "si Botak", "Monyet", "Anjing", "Babi", dan lainnya.
Ibnu An-Nuhhas Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata dalam Tanbih Al-Ghofilin (hal. 149), "An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Adzkar, "Para ulama’ telah menyepakati pengharaman memberikan gelar-gelar (jelek) kepada manusia dengan sesuatu yang ia benci, sama saja apakah gelar itu adalah sifat baginya, seperti si Mata Rabun, si Pincang, si Juling, si Kecil; ataukah gelar itu adalah sifat ayah, dan ibunya, atau selainnya diantara perkara yang ia benci". [Lihat Al-Adzkar : Kitabul Asma' (hal. 662)]
Jika kita mau menelusuri dan mengintai kegiatan OSPEK, maka kita akan menjumpai beragam penghinaan dan olok-olokan, mulai dari perintah menggundul kepala, mencukur sebagian rambut dengan model yang menggelitik, mencoreng wajah dengan arang, perintah panjat ke tiang listrik sambil teriak, "aku maling!! Aku gila!!!", mengepang rambut dalam jumlah banyak, dan lainnya.
Lebih edan lagi, jika mereka menghina orang-orang berjenggot karena mengamalkan sunnah, dan wanita berjilbab. Sebab menghina dan mengolok-olok orang karena berpegang teguhnya kepada sunnah adalah sebuah kekafiran !!!
* Memerintahkan Kekafiran, dan Kesyirikan
Sebuah pelanggaran dan dosa yang besar dalam OSPEK, sebagian mahasiswa senior memerintahkan setiap MABA untuk bersujud dan membungkuk (ruku’) depan patung, atau mumi. Ketahuilah bahwa perkara seperti ini haram, karena sujud adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan, kecuali di depan Allah. Jika seorang bersujud di depan makhluk, maka berarti ia telah mempersekutukan Allah dalam beribadah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا يَنْبَغِيْ ِلأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ يَنْبَغِيْ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا لِمَا عَظَّمَ اللهُ عَلَيْهَا مِنْ حَقِّهِ
"Tidak pantas bagi seorang manusia untuk bersujud kepada seorang makhluk. Andai ada seorang yang pantas untuk bersujud kepada yang lain, maka aku akan memerintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya, karena Allah menjadikan hak suami besar atas sang istri". [HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (4162), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (14481). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Ihsan (9/470)]
Ketika menjawab seorang penanya yang bertanya tentang hukum ruku’ kepada selain Allah, maka para ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa, "Tidak boleh, bahkan hal itu adalah kesyirikan, karena ruku’ adalah ibadah kepada Allah -Subhanahu-, seperti halnya bersujud tidak boleh dilakukan untuk selain Allah –Subhanahu-".[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah (1/337)]
* Membunuh Seorang Muslim
Diantara dosa besar yang dilakoni oleh sebagian senior, membunuh sebagian juniornya. Sekitar tahun 1996 M , telah terbunuh beberapa Maba, akibat ulah senior yang memerintahkan Maba untuk berenang di sebuah sungai. Mereka dipaksa berenang, padahal tak bisa renang. Akhirnya sekawanan Maba meninggal dalam kasus OSPEK itu. Allah berfirman,
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS. An-Nisaa’: 93).
Ini adalah ancaman yang berat bagi orang yang membunuh seorang muslim. Bagaimana lagi jika membunuh lebih dari seorang. Cukuplah hal ini menjadikan alasan bagi kita mengharamkan perbuatan sadis mereka dalam kegiatan OSPEK !!
Inilah beberapa gelintir pelanggaran OSPEK. Andai kita mau menghitungnya, maka terlalu banyak, seperti menodai anak gadis orang, para senior menganggap dirinya ma’shum yang tak pernah salah, memakan uang haram melalui pajak-pajak liar dalam OSPEK, Mengolok-olok agama atau sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan lainnya. Ringkasnya, OSPEK atau MOS yang mengandung kezholiman dan pelanggaran terhadap batasan syari’at merupakan perkara haram !!
Jarum waktu senantiasa berjalan sampai lahirlah kompilasi (gabungan) diktator-diktator sadis gaya baru yang masuk dalam dunia pendidikan dan almamater melalui pintu "OSPEK" (Orietasi Pengenalan Kampus). Jika dahulu para diktator jumlahnya sedikit, maka sekarang beda halnya. Jumlahnya menjamur bak jamur di musim hujan, khususnya saat penerimaan MABA (Mahasiswa Baru). Maka muncullah diktator-diktator (yaitu, para mahasiswa senior) menampakkan taring keganasan mereka, siap menzholimi para hamba Allah dari kalangan MABA dengan berkedok "Orientasi". Aksi zholim seperti ini Anda bisa lihat -khususnya- di kota Makassar, Sulsel, saat penerimaan MABA di sebagian perguruan tinggi.
Kezholiman dan penyiksaan yang diperbuat oleh para mahasiswa senior atas MABA sungguh telah melampaui batas; melebihi kezholiman para diktator tersebut, dan orang-orang komunis (PKI). Perhatikan, para diktator (baca: para senior) itu menzholimi dan menyiksa hamba-hamba Allah; para senior memukuli mereka, mengurung, menakut-nakuti, mengadu MABA, menampar, melukai, mengambil uang mereka secara batil, menodai wanita, menghina kehormatan saudaranya, bahkan memerintahkan para MABA (Junior) untuk melakukan kekafiran dan kesyirikan, seperti bersujud di depan mumi, atau sebuah patung yang mereka buat. Sungguh perbuatan ini telah melampaui batasan Allah. Para senior tak lagi takut kepada Allah -Ta’ala-; seakan-akan mereka tak lagi memiliki Tuhan yang akan menghisab dan membalas kezholiman mereka.
OSPEK , singkatan untuk: "Orientasi Pengenalan Kampus". Nampaknya manis, tapi hakikatnya pahit dan beracun. Singkatan ini baiknya diubah arti dan maknanya sehingga kita katakan, OSPEK adalah singkatan bagi "Orientasi Penyiksaan Kampus".
Diantara bentuk pelanggaran, dan kezholiman yang terjadi dalam OSPEK, dilakoni oleh para mahasiswa senior:
* Penyiksaan Hamba-hamba Allah
Para senior menyiksa para mahasiswa baru (junior) dalam OSPEK adalah perkara yang sudah menjadi rahasia umum; mulai dari kengkreng, mencambuk, memukul, menempeleng, merendam orang, merayap dalam jarak jauh, menendang, melukai, dan lainnya. Para senior telah lepas kontrol, seakan binatang buas menyeruduk, dan melakukan apa saja yang mereka inginkan; seakan manusia purba yang hidup tanpa aturan, dan bergaya anarkis. Demi Allah, mereka akan dihisab, dan disiksa oleh Allah. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعَذِّبُ الَّذِيْنَ يُعَذِّبُوْنَ النَّاسَ فِيْ الدُّنْيَا
"Sesungguhnya Allah -Azza wa Jalla- akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia". [HR. Muslim (2613), dan Abu Dawud (3045)]
Bentuk penyiksaan yang sering dilakukan oleh senior, memukul para junior, bahkan menampar wajahnya yang mulia. Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Adapun memukul wajah, maka hal itu terlarang pada setiap hewan yang terhormat berupa manusia, keledai, kuda, onta, bagal,kambing, dan lainnya. Tapi hal itu pada manusia lebih bermasalah, karena wajah adalah pusat keindahan. Disamping itu, wajah juga lembut, karena akan nampak padanya bekas pukulan. Terkadang pukulan itu akan merusaknya, dan mengganggu sebagian panca indra". [Lihat Syarh Shohih Muslim (14/323)]
* Membuat Orang Marah, dan Jengkel
Menyayangi, dan menghormati orang-orang yang lebih rendah kedudukannya (seperti, orang miskin, mahasiswa junior, anak kecil, dan lainnya) adalah perkara yang dianjurkan oleh agama kita. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang tidak menyayangi orang kecil diantara kami, dan tidak mengenal hak orang besar (orang tua) diantara kami, maka ia bukan termasuk golongan kami". [HR. Abu Dawud (4943), dan At-Tirmidziy (1920)]
Orang-orang yang tidak menyayangi, dan tak menghormati orang-orang kecil dan rendahan, maka mereka tak disayangi oleh Allah. Bahkan mereka telah membuat Allah murka kepadanya, jika ia membuat orang-orang rendahan jadi marah dan jengkel. Amr bin A’idz Al-Muzaniy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ أَتَى عَلَى سَلْمَانَ وَ صُهَيْبٍ وَبِلاَلٍ فِيْ نَفَرٍ فَقَالُوْا: وَاللهِ, مَا أَخَذَتْ سُيُوْفُ اللهِ مِنْ عُنُقِ عَدُوِّ اللهِ مَأْخَذَهَا قَالَ: فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَتَقُوْلُوْنَ هَذَا لِشَيْخِ قُرَيْشٍ وَسَيِّدِهِمْ ؟ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ, لَعَلَّكَ أَغْضَبْتَهُمْ, لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبْتَ رَبَّكَ
"Abu Sufyan pernah datang (waktu itu masih musyrik, -pen) kepada Salman, Shuhaib, dan Bilal bersama rombongan. Mereka pun (Salman, dkk) berkata, "Demi Allah, pedang-pedang Allah belum mengenai leher musuh-musuh Allah". Amer bin A’idz berkata, "Abu Bakar berkata, "Apakah kalian mau mengucapkan hal seperti ini kepada Orang tua dan Pemimpin Quraisy ini (yakni, Abu Sufyan)? Lalu Abu Bakar pun datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya mengabarkan kejadian itu. Beliau bersabda, "Wahai Abu Bakar, barangkali engkau telah membuat mereka marah. Jika kau telah membuat mereka marah, maka kau telah membuat Robb-mu marah". [HR. Muslim (2504)]
Al-Imam Abu Zakariyya’ An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat keutamaan yang jelas bagi Salman, dan kawan-kawan mereka ini. Di dalamnya juga terdapat (anjuran) untuk menjaga hati (perasaan) orang-orang lemah, orang yang beragama; memuliakan, dan bersikap lembut kepada mereka". [Lihat Al-Minhaj (16/66)]
Jadi, membuat orang-orang lemah dan rendahan jadi marah dan tersinggung merupakan perkara yang tercela dalam Islam. Apalagi jika orang lemah adalah orang yang sholeh dan beragama.
* Memperolok-olok & Menghina Junior
Kata-kata kotor dan hina yang keluar dari mulut-mulut mahasiswa senior dalam OSPEK ketika menghina, dan memperolok-olokkan junior; sudah menjadi menjadi lumrah dan halal di sisi para senior. Padahal Allah melarang kita menghina yang lain,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan (menghina) kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan (menghina) kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri, dan janganlah melakukan tanabuz (memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan). seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim". (QS. Al-Hujuraat: 11).
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- berkata dalam memaknai ayat ini, "Janganlah seorang diantara kalian mencela saudaranya, dan menggelarinya dengan gelar-gelar hina yang ia benci jika disematkan kepadanya. Inilah tanabuz. Adapun gelar-gelar yang tak tercela, maka ia tak masuk dalam hal ini". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal.801)]
Menghina MABA dengan gelar-gelar jelek adalah hal yang lumrah dilakukan oleh senior mereka, misalnya senior menggelari MABA dengan "si Gundul", "si Botak", "Monyet", "Anjing", "Babi", dan lainnya.
Ibnu An-Nuhhas Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata dalam Tanbih Al-Ghofilin (hal. 149), "An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Adzkar, "Para ulama’ telah menyepakati pengharaman memberikan gelar-gelar (jelek) kepada manusia dengan sesuatu yang ia benci, sama saja apakah gelar itu adalah sifat baginya, seperti si Mata Rabun, si Pincang, si Juling, si Kecil; ataukah gelar itu adalah sifat ayah, dan ibunya, atau selainnya diantara perkara yang ia benci". [Lihat Al-Adzkar : Kitabul Asma' (hal. 662)]
Jika kita mau menelusuri dan mengintai kegiatan OSPEK, maka kita akan menjumpai beragam penghinaan dan olok-olokan, mulai dari perintah menggundul kepala, mencukur sebagian rambut dengan model yang menggelitik, mencoreng wajah dengan arang, perintah panjat ke tiang listrik sambil teriak, "aku maling!! Aku gila!!!", mengepang rambut dalam jumlah banyak, dan lainnya.
Lebih edan lagi, jika mereka menghina orang-orang berjenggot karena mengamalkan sunnah, dan wanita berjilbab. Sebab menghina dan mengolok-olok orang karena berpegang teguhnya kepada sunnah adalah sebuah kekafiran !!!
* Memerintahkan Kekafiran, dan Kesyirikan
Sebuah pelanggaran dan dosa yang besar dalam OSPEK, sebagian mahasiswa senior memerintahkan setiap MABA untuk bersujud dan membungkuk (ruku’) depan patung, atau mumi. Ketahuilah bahwa perkara seperti ini haram, karena sujud adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan, kecuali di depan Allah. Jika seorang bersujud di depan makhluk, maka berarti ia telah mempersekutukan Allah dalam beribadah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا يَنْبَغِيْ ِلأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ يَنْبَغِيْ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا لِمَا عَظَّمَ اللهُ عَلَيْهَا مِنْ حَقِّهِ
"Tidak pantas bagi seorang manusia untuk bersujud kepada seorang makhluk. Andai ada seorang yang pantas untuk bersujud kepada yang lain, maka aku akan memerintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya, karena Allah menjadikan hak suami besar atas sang istri". [HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (4162), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (14481). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Ihsan (9/470)]
Ketika menjawab seorang penanya yang bertanya tentang hukum ruku’ kepada selain Allah, maka para ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa, "Tidak boleh, bahkan hal itu adalah kesyirikan, karena ruku’ adalah ibadah kepada Allah -Subhanahu-, seperti halnya bersujud tidak boleh dilakukan untuk selain Allah –Subhanahu-".[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah (1/337)]
* Membunuh Seorang Muslim
Diantara dosa besar yang dilakoni oleh sebagian senior, membunuh sebagian juniornya. Sekitar tahun 1996 M , telah terbunuh beberapa Maba, akibat ulah senior yang memerintahkan Maba untuk berenang di sebuah sungai. Mereka dipaksa berenang, padahal tak bisa renang. Akhirnya sekawanan Maba meninggal dalam kasus OSPEK itu. Allah berfirman,
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS. An-Nisaa’: 93).
Ini adalah ancaman yang berat bagi orang yang membunuh seorang muslim. Bagaimana lagi jika membunuh lebih dari seorang. Cukuplah hal ini menjadikan alasan bagi kita mengharamkan perbuatan sadis mereka dalam kegiatan OSPEK !!
Inilah beberapa gelintir pelanggaran OSPEK. Andai kita mau menghitungnya, maka terlalu banyak, seperti menodai anak gadis orang, para senior menganggap dirinya ma’shum yang tak pernah salah, memakan uang haram melalui pajak-pajak liar dalam OSPEK, Mengolok-olok agama atau sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan lainnya. Ringkasnya, OSPEK atau MOS yang mengandung kezholiman dan pelanggaran terhadap batasan syari’at merupakan perkara haram !!
Langganan:
Postingan (Atom)