Menghindari Kemungkaran di Penghujung Tahun
Ternyata tidak sedikit kaum muslimin yang masih belum mengerti bagaimana hukum mengucapkan selamat natal atau hari-hari raya orang kafir lainnya. Hal ini nampak dari banyaknya kaum muslimin yang masih saja memberikan ucapan selamat, bergembira, dan bahkan ikut merayakan hari raya yang jatuh pada setiap penghujung tahun masehi tersebut, tidak terkecuali tahun ini.
Oleh karena itulah, kami akan menampilkan fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ dan Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tentang permasalahan ini.
Tepat sepekan setelah hari natal, ada momen besar lainnya yang umat Islam sangat rawan untuk terjatuh kepada kemungkaran dan pelanggaran syar’i di dalamnya, yaitu tahun baru. Sehingga tidak lupa kami juga menampilkan hukum merayakannya sebagaimana yang telah difatwakan oleh para ulama.
Hukum Mengucapkan Selamat Kepada Orang-Orang Nashara pada Hari Raya Mereka
Pertanyaan:
Bagaimana hukum Islam tentang mengucapkan selamat kepada orang-orang nashara pada hari raya mereka, karena saya mempunyai paman yang bertetangga dengan seorang nashrani, dan paman saya ini memberikan ucapan selamat kepadanya ketika bergembira maupun ketika hari raya. Dan sebaliknya si nashrani tersebut juga mengucapkan selamat kepada paman saya ketika bergembira, ketika hari raya, atau pada kesempatan lain. Apakah ini diperbolehkan: ucapan selamat seorang muslim kepda nashrani dan nashrani kepada seorang muslim ketika hari raya-hari raya maupun saat-saat bergembira?
Jawaban:
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang nashrani ketika hari raya-hari raya mereka, karena yang demikian itu merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan kita dilarang untuk itu. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ.
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)
Sebagaimana juga disebabkan karena padanya (ucapan selamat tersebut) terdapat unsur kasih sayang kepada mereka, mengharap kecintaan, dan mengesankan sikap ridha kepada mereka dan syi’ar-syi’arnya, maka ini tidak diperbolehkan.
Bahkan yang wajib adalah menampakkan permusuhan dan kebencian yang nyata kepada mereka, karena mereka telah memerangi Allah jalla wa’ala dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, dan mereka telah menjadikan (menganggap) bagi Allah (memiliki) istri dan anak. Allah ta’ala berfirman:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ.
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)
Dan firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ.
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
Wabillahittaufiq.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’ III/313]
Rabu, 29 Desember 2010
AKIBAT YANG AKAN DIRASAKAN OLEH PELAKU RIBA
Para pembaca, tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]
Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]
Kemana Mbah Marijan?
Bismillah
Gunung Merapi yang selama ini terdiam, kini memuntahkan debu-debu vulkanik dan lahar-lahar beracun beserta zat lain yang berbahaya. Merapi telah meluluhlantahkan harta benda manusia Jogja, menelan banyak korban nyawa, mengacaukan segala kegiatan yang semula terencana. Akhirnya banyak orang yang menjadi yatim, janda, duda, jatuh melarat.
Makhluk Allah -Azza wa Jalla- yang satu ini telah menumbangkan kesombongan Mbah Marijan dan kebatilan sangkaannya sebagai “Juru Kunci Merapi”. Sudah menjadi hikmah di sisi Allah, orang yang menampakkan kesombongannya, maka Allah akan mencampakkannya dalam keadaan hina dina, entah di dunia atau di akhirat.
Ketika Mbah Marijan semakin menampakkan kesombongannya di tahun 2006M melalui prediksi dan reka-rekanya bahwa Merapi belum meletus, sementara pemerintah setempat telah memperkirakan sebaliknya berdasarkan fakta dan riset ilmiah, maka banyak masyarakat yang menuhankan Mbah Marijan, dan lebih percaya bahwa ia adalah Juru Kunci Merapi yang dapat membaca dan mengatur keganasan makhluk itu. Mengapa mereka membenarkannya?! Karena, rekaan Mbah Marijan kebetulan benar. Padahal semua itu adalah kembali kepada taqdir (ketentuan) Allah. Allah yang menentukannya!!
Para pembaca yang budiman, semua itu Allah taqdirkan demikian untuk menguji dan menyaring antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman alias musyrik. Pernyataan Mbah Marijan saat itu benar, karena kebetulan saja sesuai dengan takdir di sisi Allah, bukan karena ia memiliki ilmu yang dapat mengetahui dan mengatur kondisi Gunung Merapi.
Tapi apa itu benar? Tentu saja tidak!! Ketika Merapi meletus di tahun ini, maka tak ada seorang makhluk pun yang mampu menahan musibah yang Allah -Azza wa Jalla- tetapkan. Lalu kemanakah Mbah Marijan ‘Sang Juru Kunci’ saat merapi memuntahkan lahar, belerang, dan zat-zat vulkanik lainnya??! Ternyata sang Juru Kunci telah mampus dan tak berdaya lagi. Semua tragedy ini telah membungkam mulut para pengagung Mbah Marijan, menghancurkan segala pikiran batil mereka tentang sang Juru Kunci, dan menyadarkan mereka bahwa segala musibah ada di Tangan Allah Robbul alamin. Jika musibah itu datang, maka tak ada yang mampu mencegahnya, kecuali Allah -Azza wa Jalla-. Adapun Mbah Marijan dan semodelnya, maka ia hanyalah ibarat semut yang tidak berdaya di hadapan musibah yang Allah turunkan. Selayaknya ia hanya berdoa memohon kepada Allah -Azza wa Jalla- keselamatan dari bahaya letusan Merapi, bukan menobatkan dirinya pengatur Merapi. Sebab itu bukanlah jabatannya dari Allah. Para malaikat saja tak mampu mengatur alam semesta, tanpa seijin Allah -Azza wa Jalla-. Nah, lantas kenapa Mbah Marijan yang amat lemah dan amat hina, tiba-tiba menobatkan dirinya seperti tuhan yang mampu mengatur Allah semesta (dalam hal ini Merapi)? Sungguh suatu hal yang aneh lagi mungkar!!
* Penyimpangan Tauhid Rububiyyah
Para pembaca yang budiman, beriman kepada Allah tak mungkin akan sempurna, kecuali men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam tiga perkara: Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asmaa’ wash Shifaat (nama-nama dan sifat Allah).
Seorang yang mengesakan Allah dalam RUBUBIYYAH-nya, ia mengesakan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang khusus bagi Allah. Tak ada yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu, selain Allah -Azza wa Jalla- , seperti: al-kholqu (mencipta), ar-rizqu (memberi rezki), at-tadbir (mengatur alam semesta), al-imaatah (mematikan), al-ihyaa’ (menghidupkan), an-naf’u wadh dhurru (memberi manfaat dan madhorot), dan lainnya.
Seorang yang men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam perkara ULUHIYYAH (penyembahan), ia akan mengesakan Allah dalam penyembahan dan peribadahan kepada-Nya. Dia tak akan mengarahkan ibadahnya kepada makhluk, baik itu nabi, malaikat atau yang lainnya. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 8) oleh Syaikh Muhammad Al-Khumayyis]
Seorang yang men-tauhid-kan Allah dalam nama dan sifat-sifat-Nya, ia akan meyakini bahwa tak ada makhluk yang memiliki nama atau sifat yang menyerupai nama atau sifat Allah sedikitpun
Jika kita melihat dan memperhatikan kehidupan Mbah Marijan , maka ia keliru dalam tiga dalam perkara ini. Dia telah berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan para makhluk.
Lihatlah dalam perkara rububiyyah, ia telah menobatkan dirinya sebagai “Juru Kunci Merapi” yang mampu mengatur Merapi. Menurutnya, dia yang menentukan meletus tidaknya Merapi. Dia menyangka bahwa dirinya mampu mengatur alam semesta (dalam hal ini Merapi). Padahal tak ada yang mampu mengatur urusan alam semesta, semuanya ada di Tangan Allah -Azza wa Jalla-. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”.(QS. As-Sajdah : 5)
Allah -Ta’ala- berfirman dalam (QS. Asy-Syuuro: 12),
“Kepunyaan-Nya-lah kunci-kunci langit dan bumi. Dia melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Allah yang mengatur alam semesta (langit dan dunia). Dia-lah yang menentukan hasil dan akibat setiap makhluk-Nya, sebab Dia-lah yang menciptakannya, bukan makhluk yang menciptakannya!! [Lihat Fathul Qodir (3/344) oleh Al-Imam Asy-Syaukaniy]
Kemaslahatan hamba yang berkaitan dengan dunia dan akhiratnya, semuanya ada dalam pengaturan Allah. Musibah dan keburukan yang menimpa sebagian hamba-Nya, semuanya dalam pengaturan Allah. Makhluk tak memiliki campur tangan di dalamnya!!
Dari sini anda mengetahui kesalahan fatal Mbah Marijanyang melantik dirinya sebagai sang Pengatur Merapi. Sungguh ini adalah kelancangan kepada Allah Sang Pencipta!! Kesalahan fatal ini tak pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, sebab mereka tak pernah mengaku bahwa sesembahan batil mereka mampu mengatur alam semesta (misalnya, gunung). Dengarkan pengakuan mereka dalam Al-Qur’an (QS. Yunus : 31),
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[ dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
Perhatikan saat mereka ditanya tentang siapa yang mengatur urusan alam semesta, maka mereka mengembalikannya kepada Allah, bukan kepada sembahan-sembahan batil mereka. Adapun sebagian manusia jahil hari ini, maka mereka mengembalikan pengaturan alam semesta kepada Mbah Marijan. Subhanallah, ini adalah kebodohan dalam berpikir, lebih bodoh dibandingkan kaum kafir Quraisy.
* Penyimpangan dalam Tauhid Uluhiyyah
Kesalahan fatal lainnya yang dilakukan oleh Mbah Marijan, ia sering memimpin ritual-ritual syirik yang diadakan disekitar Gunung Merapi, berupa ritual dan ibadah penyembelihan dan persembahan hewan ternak atau yang lainnya kepada selain Allah, berdoa kepada para penguasa Merapi yang ia yakini dari kalangan setan-setan Merapi.
Berdoa kepada selain Allah dan menyembelih untuk selain Allah dari kalangan makhluk (seperti, malaikat, manusia atau jin) merupakan kemusyrikanterbesar di sisi Allah -Azza wa Jalla-!!! Karenanya, Allah -Ta'ala- berfirman,
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.(QS. Al-Jin : 18)
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Allah -Ta'ala- berfirman dalam memerintahkan para hamba-Nya agar mengesakan Allah dalam perkara-perkara ibadah. Tak boleh seorang makhluk pun diseru (dimohon) bersama-Nya dan tak boleh pula dipersekutukan bersama Allah sebagaimana kata Qotadah tentang firman Allah (lalu beliau menyebutkan ayat di atas), “Dulu orang-orang Yahudi dan Nashoro, jika mereka masuk ke dalam gereja-gereja dan tempat ibadah mereka, maka mereka menyekutukan Allah (berbuat syirik). Lantaran itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk men-tauhid-kan Allah (mengesakan-Nya)”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/244)]
Seorang muslim dilarang keras berdoa dan berlindung kepada makhluk, baik itu berupa malaikat, manusia, jin dan lainnya, sebab ini adalah kesyirikan ‘menyekutukan Allah’ yang telah menjadi symbol pembeda antara penganut agama paganisme (penyembah berhala) dengan penganut agama tauhid ‘agama Islam’. Agama paganisme mengajak kepada penyembahan makhluk, sedang Islam menentangnya dengan keras, dan tak mau menyembah sembahan apapun, kecuali Allah saja!!
Oleh karenanya, perbuatan dan ritual ibadah yang digandrungi Mbah Marijan (berupa persembahan kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada para makhluk halus, takut dan berharap kepada mereka), semua itu bukanlah bagian Islam, bahkan ia adalah ajaran paganisme yang bersumber ajaran Hindu-Buddha, animisme, dan kejawen. Adapun dalam Islam, maka semua bentuk ibadah seperti itu, tak boleh kita berikan dan persembahkan, kecuali untuk Allah, Pemilik dan Pencipta alam semesta.
Allah -Ta’ala- memerintahkan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- demi menyelisihi kaum musyrikin paganisme yang gandrung menyembelih untuk sesembahan mereka yang batil,
“Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. Al-An’aam: 162)
Seorang yang menyembelih dan mengorbankan sesuatu untuk makhluk halus atau kasar akan terkena laknat dari Allah -Ta’ala-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. [HR. Muslim Al-Kitab Adhohiy (no. 1178), dan An-Nasa’iy dalam Kitab Adh-Dhohayaa (7/232)]
Syaikh Isma’il bin Abdil Ghoniy Ad-Dahlawiy -rahimahullah- berkata,“Sungguh hadits ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah termasuk amalan (ibadah) yang Allah khususkan untuk mengagungkan diri-Nya. Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat syirik (menyekutukan Allah)”.[Lihat Risalah At-Tauhid (hal. 117)]
Para pembaca yang budiman, menyembelih untuk selain Allah termasuk dosa syirik yang bisa menyebabkan seorang muslim keluar dari agama-Nya. Jadi, Mbah Marijan yang begini pekerjaan dan kelakuannya telah melakukan pelanggaran besar di sisi Allah. Adapun matinya Mbah Marijan dalam posisi sujud, maka itu tak boleh dijadikan argument bahwa ia mati istiqomah alias mati baik ‘husnul khotimah’, dengan beberapa alasan:
* Konon kabarnya, dia bersujud ke arah selatan
* Tak ada bukti kongkrit bahwa ia bertobat. Kalaupun ia tobat, maka tobatnya bukan lagi pada waktunya, sebab ia telah berada di ambang kematian, sedang tobat seperti ini tak diterima lagi.
* Mbah Marijan bersujud usai sholat Ashar, dan berada antara kamar mandi dan dapur. Lantas sujud apakah itu?
* Mungkin saja ia tak bersujud pada hakikatnya, tapi ia jatuh tersungkur.
* Anggaplah ia bersujud dan mati dalam keadaan sholat, tapi perlu diketahui bahwa kaum musyrikin Quraisy juga sholat. Namun sholat mereka tak berguna, karena mereka berbuat syirik.
* Detik-detik terakhir sebelum meletusnya Merapi, Mbah Marijan masih bersikeras dengan sikap dan posisi kesombongannya sebagai KUNCEN ‘Juru Kunci Merapi’.
* Dia diperintah turun saat musibah dekat, tapi ia nekad. Ini jelas bunuh diri!!
Dengan beberapa argument tersebut, dan yang lainnya, maka para pengagung dan simpatisan si Mbah Marijan tak boleh merasa bangga dan bergembira dengan kematiannya, lalu menyatakan bahwa ia mati husnul khotimah. Bahkan kita khawatirkan ia mati kafir, sebab kesyirikannya!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 183 Tahun III. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.
Link sumber : http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/kemana-mbah-marijan.html
Gunung Merapi yang selama ini terdiam, kini memuntahkan debu-debu vulkanik dan lahar-lahar beracun beserta zat lain yang berbahaya. Merapi telah meluluhlantahkan harta benda manusia Jogja, menelan banyak korban nyawa, mengacaukan segala kegiatan yang semula terencana. Akhirnya banyak orang yang menjadi yatim, janda, duda, jatuh melarat.
Makhluk Allah -Azza wa Jalla- yang satu ini telah menumbangkan kesombongan Mbah Marijan dan kebatilan sangkaannya sebagai “Juru Kunci Merapi”. Sudah menjadi hikmah di sisi Allah, orang yang menampakkan kesombongannya, maka Allah akan mencampakkannya dalam keadaan hina dina, entah di dunia atau di akhirat.
Ketika Mbah Marijan semakin menampakkan kesombongannya di tahun 2006M melalui prediksi dan reka-rekanya bahwa Merapi belum meletus, sementara pemerintah setempat telah memperkirakan sebaliknya berdasarkan fakta dan riset ilmiah, maka banyak masyarakat yang menuhankan Mbah Marijan, dan lebih percaya bahwa ia adalah Juru Kunci Merapi yang dapat membaca dan mengatur keganasan makhluk itu. Mengapa mereka membenarkannya?! Karena, rekaan Mbah Marijan kebetulan benar. Padahal semua itu adalah kembali kepada taqdir (ketentuan) Allah. Allah yang menentukannya!!
Para pembaca yang budiman, semua itu Allah taqdirkan demikian untuk menguji dan menyaring antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman alias musyrik. Pernyataan Mbah Marijan saat itu benar, karena kebetulan saja sesuai dengan takdir di sisi Allah, bukan karena ia memiliki ilmu yang dapat mengetahui dan mengatur kondisi Gunung Merapi.
Tapi apa itu benar? Tentu saja tidak!! Ketika Merapi meletus di tahun ini, maka tak ada seorang makhluk pun yang mampu menahan musibah yang Allah -Azza wa Jalla- tetapkan. Lalu kemanakah Mbah Marijan ‘Sang Juru Kunci’ saat merapi memuntahkan lahar, belerang, dan zat-zat vulkanik lainnya??! Ternyata sang Juru Kunci telah mampus dan tak berdaya lagi. Semua tragedy ini telah membungkam mulut para pengagung Mbah Marijan, menghancurkan segala pikiran batil mereka tentang sang Juru Kunci, dan menyadarkan mereka bahwa segala musibah ada di Tangan Allah Robbul alamin. Jika musibah itu datang, maka tak ada yang mampu mencegahnya, kecuali Allah -Azza wa Jalla-. Adapun Mbah Marijan dan semodelnya, maka ia hanyalah ibarat semut yang tidak berdaya di hadapan musibah yang Allah turunkan. Selayaknya ia hanya berdoa memohon kepada Allah -Azza wa Jalla- keselamatan dari bahaya letusan Merapi, bukan menobatkan dirinya pengatur Merapi. Sebab itu bukanlah jabatannya dari Allah. Para malaikat saja tak mampu mengatur alam semesta, tanpa seijin Allah -Azza wa Jalla-. Nah, lantas kenapa Mbah Marijan yang amat lemah dan amat hina, tiba-tiba menobatkan dirinya seperti tuhan yang mampu mengatur Allah semesta (dalam hal ini Merapi)? Sungguh suatu hal yang aneh lagi mungkar!!
* Penyimpangan Tauhid Rububiyyah
Para pembaca yang budiman, beriman kepada Allah tak mungkin akan sempurna, kecuali men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam tiga perkara: Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asmaa’ wash Shifaat (nama-nama dan sifat Allah).
Seorang yang mengesakan Allah dalam RUBUBIYYAH-nya, ia mengesakan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang khusus bagi Allah. Tak ada yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu, selain Allah -Azza wa Jalla- , seperti: al-kholqu (mencipta), ar-rizqu (memberi rezki), at-tadbir (mengatur alam semesta), al-imaatah (mematikan), al-ihyaa’ (menghidupkan), an-naf’u wadh dhurru (memberi manfaat dan madhorot), dan lainnya.
Seorang yang men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam perkara ULUHIYYAH (penyembahan), ia akan mengesakan Allah dalam penyembahan dan peribadahan kepada-Nya. Dia tak akan mengarahkan ibadahnya kepada makhluk, baik itu nabi, malaikat atau yang lainnya. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 8) oleh Syaikh Muhammad Al-Khumayyis]
Seorang yang men-tauhid-kan Allah dalam nama dan sifat-sifat-Nya, ia akan meyakini bahwa tak ada makhluk yang memiliki nama atau sifat yang menyerupai nama atau sifat Allah sedikitpun
Jika kita melihat dan memperhatikan kehidupan Mbah Marijan , maka ia keliru dalam tiga dalam perkara ini. Dia telah berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan para makhluk.
Lihatlah dalam perkara rububiyyah, ia telah menobatkan dirinya sebagai “Juru Kunci Merapi” yang mampu mengatur Merapi. Menurutnya, dia yang menentukan meletus tidaknya Merapi. Dia menyangka bahwa dirinya mampu mengatur alam semesta (dalam hal ini Merapi). Padahal tak ada yang mampu mengatur urusan alam semesta, semuanya ada di Tangan Allah -Azza wa Jalla-. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”.(QS. As-Sajdah : 5)
Allah -Ta’ala- berfirman dalam (QS. Asy-Syuuro: 12),
“Kepunyaan-Nya-lah kunci-kunci langit dan bumi. Dia melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Allah yang mengatur alam semesta (langit dan dunia). Dia-lah yang menentukan hasil dan akibat setiap makhluk-Nya, sebab Dia-lah yang menciptakannya, bukan makhluk yang menciptakannya!! [Lihat Fathul Qodir (3/344) oleh Al-Imam Asy-Syaukaniy]
Kemaslahatan hamba yang berkaitan dengan dunia dan akhiratnya, semuanya ada dalam pengaturan Allah. Musibah dan keburukan yang menimpa sebagian hamba-Nya, semuanya dalam pengaturan Allah. Makhluk tak memiliki campur tangan di dalamnya!!
Dari sini anda mengetahui kesalahan fatal Mbah Marijanyang melantik dirinya sebagai sang Pengatur Merapi. Sungguh ini adalah kelancangan kepada Allah Sang Pencipta!! Kesalahan fatal ini tak pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, sebab mereka tak pernah mengaku bahwa sesembahan batil mereka mampu mengatur alam semesta (misalnya, gunung). Dengarkan pengakuan mereka dalam Al-Qur’an (QS. Yunus : 31),
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[ dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
Perhatikan saat mereka ditanya tentang siapa yang mengatur urusan alam semesta, maka mereka mengembalikannya kepada Allah, bukan kepada sembahan-sembahan batil mereka. Adapun sebagian manusia jahil hari ini, maka mereka mengembalikan pengaturan alam semesta kepada Mbah Marijan. Subhanallah, ini adalah kebodohan dalam berpikir, lebih bodoh dibandingkan kaum kafir Quraisy.
* Penyimpangan dalam Tauhid Uluhiyyah
Kesalahan fatal lainnya yang dilakukan oleh Mbah Marijan, ia sering memimpin ritual-ritual syirik yang diadakan disekitar Gunung Merapi, berupa ritual dan ibadah penyembelihan dan persembahan hewan ternak atau yang lainnya kepada selain Allah, berdoa kepada para penguasa Merapi yang ia yakini dari kalangan setan-setan Merapi.
Berdoa kepada selain Allah dan menyembelih untuk selain Allah dari kalangan makhluk (seperti, malaikat, manusia atau jin) merupakan kemusyrikanterbesar di sisi Allah -Azza wa Jalla-!!! Karenanya, Allah -Ta'ala- berfirman,
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.(QS. Al-Jin : 18)
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Allah -Ta'ala- berfirman dalam memerintahkan para hamba-Nya agar mengesakan Allah dalam perkara-perkara ibadah. Tak boleh seorang makhluk pun diseru (dimohon) bersama-Nya dan tak boleh pula dipersekutukan bersama Allah sebagaimana kata Qotadah tentang firman Allah (lalu beliau menyebutkan ayat di atas), “Dulu orang-orang Yahudi dan Nashoro, jika mereka masuk ke dalam gereja-gereja dan tempat ibadah mereka, maka mereka menyekutukan Allah (berbuat syirik). Lantaran itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk men-tauhid-kan Allah (mengesakan-Nya)”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/244)]
Seorang muslim dilarang keras berdoa dan berlindung kepada makhluk, baik itu berupa malaikat, manusia, jin dan lainnya, sebab ini adalah kesyirikan ‘menyekutukan Allah’ yang telah menjadi symbol pembeda antara penganut agama paganisme (penyembah berhala) dengan penganut agama tauhid ‘agama Islam’. Agama paganisme mengajak kepada penyembahan makhluk, sedang Islam menentangnya dengan keras, dan tak mau menyembah sembahan apapun, kecuali Allah saja!!
Oleh karenanya, perbuatan dan ritual ibadah yang digandrungi Mbah Marijan (berupa persembahan kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada para makhluk halus, takut dan berharap kepada mereka), semua itu bukanlah bagian Islam, bahkan ia adalah ajaran paganisme yang bersumber ajaran Hindu-Buddha, animisme, dan kejawen. Adapun dalam Islam, maka semua bentuk ibadah seperti itu, tak boleh kita berikan dan persembahkan, kecuali untuk Allah, Pemilik dan Pencipta alam semesta.
Allah -Ta’ala- memerintahkan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- demi menyelisihi kaum musyrikin paganisme yang gandrung menyembelih untuk sesembahan mereka yang batil,
“Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. Al-An’aam: 162)
Seorang yang menyembelih dan mengorbankan sesuatu untuk makhluk halus atau kasar akan terkena laknat dari Allah -Ta’ala-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. [HR. Muslim Al-Kitab Adhohiy (no. 1178), dan An-Nasa’iy dalam Kitab Adh-Dhohayaa (7/232)]
Syaikh Isma’il bin Abdil Ghoniy Ad-Dahlawiy -rahimahullah- berkata,“Sungguh hadits ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah termasuk amalan (ibadah) yang Allah khususkan untuk mengagungkan diri-Nya. Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat syirik (menyekutukan Allah)”.[Lihat Risalah At-Tauhid (hal. 117)]
Para pembaca yang budiman, menyembelih untuk selain Allah termasuk dosa syirik yang bisa menyebabkan seorang muslim keluar dari agama-Nya. Jadi, Mbah Marijan yang begini pekerjaan dan kelakuannya telah melakukan pelanggaran besar di sisi Allah. Adapun matinya Mbah Marijan dalam posisi sujud, maka itu tak boleh dijadikan argument bahwa ia mati istiqomah alias mati baik ‘husnul khotimah’, dengan beberapa alasan:
* Konon kabarnya, dia bersujud ke arah selatan
* Tak ada bukti kongkrit bahwa ia bertobat. Kalaupun ia tobat, maka tobatnya bukan lagi pada waktunya, sebab ia telah berada di ambang kematian, sedang tobat seperti ini tak diterima lagi.
* Mbah Marijan bersujud usai sholat Ashar, dan berada antara kamar mandi dan dapur. Lantas sujud apakah itu?
* Mungkin saja ia tak bersujud pada hakikatnya, tapi ia jatuh tersungkur.
* Anggaplah ia bersujud dan mati dalam keadaan sholat, tapi perlu diketahui bahwa kaum musyrikin Quraisy juga sholat. Namun sholat mereka tak berguna, karena mereka berbuat syirik.
* Detik-detik terakhir sebelum meletusnya Merapi, Mbah Marijan masih bersikeras dengan sikap dan posisi kesombongannya sebagai KUNCEN ‘Juru Kunci Merapi’.
* Dia diperintah turun saat musibah dekat, tapi ia nekad. Ini jelas bunuh diri!!
Dengan beberapa argument tersebut, dan yang lainnya, maka para pengagung dan simpatisan si Mbah Marijan tak boleh merasa bangga dan bergembira dengan kematiannya, lalu menyatakan bahwa ia mati husnul khotimah. Bahkan kita khawatirkan ia mati kafir, sebab kesyirikannya!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 183 Tahun III. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.
Link sumber : http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/kemana-mbah-marijan.html
Wanita Penghuni Neraka
Saudariku Muslimah … .
Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.
Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.
Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.
Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)
Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)
Selengkapnya baca di :http://www.muslim-sunni.co.cc/2010/12/wanita-penghuni-neraka.html
Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.
Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.
Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.
Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)
Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)
Selengkapnya baca di :http://www.muslim-sunni.co.cc/2010/12/wanita-penghuni-neraka.html
MEWASPADAI BAHAYA PEMAHAMAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
BERIKUT ADALAH KAJIAN BERSAMA AL-USTADZ LUQMAN BA'ABDUH, DI MASJID AGUNG DARUS SALAM PURBALINGGA.
Dengan tema: "MEWASPADAI BAHAYA PEMAHAMAN JARINGAN ISLAM LIBERAL"
Ada hikmah di balik diciptakannya kebatilan dan para pembelanya di tengah-tengah umat. Dengan kebatilan itu tampaklah jurang pemisah antara kebenaran dan kebatilan, Islam dan kufur, serta ketaatan dan kemaksiatan. Dengan itu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan yang hak untuk menghancurkan yang batil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (Al-Anbiya: 18)
Allah telah membongkar niat-niat jahat dan keberadaan para penyokong kebatilan itu seperti dinyatakan dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللَّهُ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali ‘Imran: 7)
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal dia bukan dari Al-Kitab. Dan mereka mengatakan (bahwa yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78)
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 176)
Dengan tema: "MEWASPADAI BAHAYA PEMAHAMAN JARINGAN ISLAM LIBERAL"
Ada hikmah di balik diciptakannya kebatilan dan para pembelanya di tengah-tengah umat. Dengan kebatilan itu tampaklah jurang pemisah antara kebenaran dan kebatilan, Islam dan kufur, serta ketaatan dan kemaksiatan. Dengan itu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan yang hak untuk menghancurkan yang batil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (Al-Anbiya: 18)
Allah telah membongkar niat-niat jahat dan keberadaan para penyokong kebatilan itu seperti dinyatakan dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللَّهُ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali ‘Imran: 7)
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal dia bukan dari Al-Kitab. Dan mereka mengatakan (bahwa yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78)
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf: 176)
HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM
“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
Langganan:
Postingan (Atom)