Berikut ini kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar, berupa kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang shohih.
Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
-Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam bersabda :
"Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”
-Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang nampak di awal bulan. Dan bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata :
“Bulan (itu) begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga (yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian apabila bulan
tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan itu tiga puluh.”
Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.
-Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat Al- Baqaroh ayat 185 :
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat Dalam Puasa
-Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena
Allah Ta’ala.
-Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
-Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
-Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
-Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
-Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali pada pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho` atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam pada hari ‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. AllahSubhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
-Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :
“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”
-Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam selang waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu
riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
-Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur secara bersama.
-Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”
-Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
-Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iydan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda :
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada ditangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana tersebut).”
Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.
Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si muadzdzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
- Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang yang ragu di atas masih boleh makan dan minum.
5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
-Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
-Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
-Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di atas, dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary :
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada puasanya, -pent.).”
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
- Meninggalkan puasa wishol.
Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka.
Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama. Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam menyatakan :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol, maka para sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya diberi (kekuatan) makan dan minum.”
6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh
Baginya Untuk Berpuasa.
-Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.
Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama berdasarkan hadits di atas.
-Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.
-Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.
Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.”
Dan dalam riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap wudhu`.”
Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan berpuasa atau tidak.
-Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”
Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak.
-Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.
- Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.
-Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya.
Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya.”
-Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.
-Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.
-Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya :
“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”
-Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya.
Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.
7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa
-Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh karena bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk berbuka. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan donor darah. Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”
- Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :
“Sesungguhnya seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut) dan datang laki-laki lain bertanya kepadanya dan beliaupun melarangnya (untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan padanya adalah orang yang sudah tua dan yang dilarang adalah seseorang yang masih muda.”
-Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur.”
8. Pembatal-Pembatal Puasa.
-Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya. Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”
Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah puasanya.
-Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna makan dan minum.
-Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.
-Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
-Haid dan nifas.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
-Bersetubuh.
Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.
9. Berbuka Puasa.
-Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam danmalampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu :
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”
-Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy Radhiyallahu 'anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim :
“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”
Bahkan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :
“Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”
-Dan Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan ruthob maka beliau berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam beliau berkata :
“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka dengan beberapa teguk air.
-Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.
-Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila seseorang memberikan makanan buka puasa pada saudaranya yang berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu 'Anhu riwayat Ahmad, At- Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”
10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa
-Musafir
Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”
Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari'at bagi orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam perjalanan yang meletihkan.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi'I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau berkata :
“Saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin 'Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”
Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :
“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Abdullah bin
Rawahah.”
Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus untuk mengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.
-Orang yang sakit.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
-Wanita haid atau nifas
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”
Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha riwayat Imam Al-Bukhary :
“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: "apakah kamu nifas," maka saya menjawab : "Ya." Lalu beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.” Pertanyaan beliau : "Apakah kamu nifas" padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alaihi wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.
-Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa
-Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184.
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan
(Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah
setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)
11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.
-Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :
1. Musafir.
2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.
Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
3. Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh sebagaimana yang telah dijelaskan.
4. Muntah dengan Sengaja
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
5. Makan dan Minum Dengan Sengaja.
Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia tinggalkan.
Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap berpuasa satu bulan penuh.
6. Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.
-Waktu Untuk meng-qodho`
Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
-Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau secara terpisah.
-Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang afdhol (lebih utama).
Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala :
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)
- Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk mengqodho` puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah akan mengakhirkan qadho`nya setelah Ramadhan karena mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.
-Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah
mengganti puasanya kapan ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)
Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka wajib atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”
Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk mengqodho` puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)
12. Ketentuan Membayar Fidyah.
-Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:
1. Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
2. Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan
kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu Abbas :
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)
3. Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad yang shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah) kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang tidak bisa sembuh.”
-Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejumlah hari
yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.
-Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.
-Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.
-Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu makanan dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.
-Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau negeri.
-Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Membayar Kaffarah.
-Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:
1. Melakukan hubungan suami istri.
2. Melakukannya di siang hari Ramadhan.
Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnya kaffarah.
3. Dalam keadaan berpuasa.
Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan seperti ini tidak dikenakan kaffarah.
-Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakan kaffarah atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan intim.
-Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga jenis kaffarah berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya :
1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut pendapat yang paling kuat.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.
3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.
-Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.
-Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayarnya.
Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya sedang berpuasa}2.” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat
memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.”
14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.
-Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab.
Hal ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.
-Mempercepat makan sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
-Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur
Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang diperdengarkan sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin ‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan waktu adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
-Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur
Dan in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
-Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu`
Ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.
-Anggapan tidak bolehnya menelan ludah
Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa. Tidakkah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syari’at Islam.
-Mengakhirkan buka puasa
Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kami jelaskan.
-Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
-Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.
-Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.
-Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.
Demikian tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam.
Catatan Kaki
1 Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang bahwa pendapat yang
kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus berkaitan dengan
tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul Muwaffiq.
2 Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.
Selasa, 23 November 2010
Sucikan Aqidah dari Noda-Noda Syirik (Pasal 2)
Pasal 2
Apabila telah jelas bagimu bahwa orang-orang musyirik tidak bermanfaat bagi mereka penetapan mereka akan adanya Allah bersamaan denagn eksyirikan mereka dalam ibadah dan tidak sesuatu apapun yang mencukupi mereka dari Allah, dan bahwa ibadah mereka adalah keyakinan mereka bahwa berhala tersebut bisa memberikan mudharat dan mafaat, bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan bisa memberikan syafaat bagi mereka di sisi Allah, sehingga mereka menyembelih berbagai penyembelihan untuk berhala-berhala tersebut, thawaf terhadap mereka, bernadzar dengan berbagai macam nadzar untuk mereka, memberikan pelayanan untuk berhala-berhala tersebut dengan penuh kerendahan diri dan sikap tawadhu’, dan sujud terhadap mereka. Bersamaan dengan perbuatan mereka ini, mereka menetapkan rububbiyyah untuk Allah, dan menetapkan bahwa Allah semata yang Maha Mencipta. Akan tetapi tatkala mereka mempersekutukan Allah dalam ibada, Allah menjadikan mereka sebagi orang musyirik dan tidak menganggap sedikitpun penetapan mereka terhadap Rububbiyyah Allah تعالى, dia harus menunggalkan Allah dalam Tauhid Ibadah. Barangsiapa yang tidak melakukan ini, maka penetapannya terhadap yang pertama (tauhid rububbiyyah) adalah bathil. Dan sungguh orang-orang musyrik mengetahui hal tersebut ketika mereka berada dalam neraka, mereka berkata :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ، إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah! Kami (dahulu) betul-betul dalam kesesatan yang nyata ketika kami menyamakan kalian (berhala-berhala) dengan Rabb alam semesta”.Qs Asy Syu’ara:97-98
Padahal orang-orang musyrik tersebut tidak menyamakan Allah dengan berhala-berhala tersebut dari sisi, dan tidak menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai pencipta dan pemberi rezki. Akan tetapi –saat mereka berada didasar jahannam- mereka mengetahui bahwa mereka mencampuradukkan penetapan tauhid Rububbiyyah Allah dengan Noda-Noda kesyirikan yang menjadikan mereka seperti orang-orang yang menyamakan antara berhala dengan Rabbnya Manusia. Allah تعالى berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidaklah beriman kepada Allah kecuali mereka melakukan kesyirikan”.Qs. Yusuf : 106
Yaitu : tidaklah kebanyakan mereka menetapkan adanya Allah dan bahwasanya hanyalah Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, melainkan mereka juga melakukan kesyirikan dengan menyembah berhala.
[Bahkan Riya termasuk Syirik]
Bahkan Allah menamakan riya’ dalam ketaatan sebagai kesyirikan, padahal pelaku ketaatan tersebut tidaklah memaksudkan ibadahnya kecuali untuk Allah تعالى, dia hanya menginginkan dengan ketaatan tersebut untuk mencari kedudukan dalam hati manusia. Maka orang yang riya’ tersebut adalah orang yang beribadah kepada Allah, bukan kepada yang lain, akan tetapi dia mencampuradukkan amalannya dengan mencari kedudukan dalam hati manusia, maka Allah tidak menerima ibadahnya dan menamakannya sebagai kesyirikan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah bersabda : Allah تعالى berfirman :
أنا أعنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu! Maka barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia persekutukan Aku dengan selain-Ku pada amalan tersebut, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.”
[Memberi Nama dengan Abdul Harits juga Kesyirikan] (1)
Catatan kaki :
(1) Pada bab ini senagja kami tidak meneruskan dikarenakan bab ini adalah suatu kesalahan dari Imam Ash Shan’ani dikarenakan beliau mengambil dalil tafsir surat Al A’raf :170 yang mana beliau menafsirkan ayat ini dengan Hadits dari Samurah رضي الله عنه. Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad (5/11), Tirmidzi (3077), Al Hakim (2/545). Dan hadits ini ternyata dhaif. Tidak bisa dijadikan hujjah dikarenakan juga berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh Al Hasan Al Bashri sesuai apa yang Al Imam Ibnu Katsir Rahimahullah terangkan dalam tafsirnya (2/274).
Turut mendhaifkan Imam Ibnu hazm sebagaimana dinukil didalam kitab Fathul Majid (513) cet darul Fikr. Syaikh Albani juga mendhaifkan di dalam Adh Dhaifah (342) begitu juga Syaikh Ahmad Syakir terhadap tafsir Ath Thabari (13/309)
Ditulis dari Kitab Tathirul I'tiqad Min Adranilhad Imam Ash Shan'ani
Apabila telah jelas bagimu bahwa orang-orang musyirik tidak bermanfaat bagi mereka penetapan mereka akan adanya Allah bersamaan denagn eksyirikan mereka dalam ibadah dan tidak sesuatu apapun yang mencukupi mereka dari Allah, dan bahwa ibadah mereka adalah keyakinan mereka bahwa berhala tersebut bisa memberikan mudharat dan mafaat, bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan bisa memberikan syafaat bagi mereka di sisi Allah, sehingga mereka menyembelih berbagai penyembelihan untuk berhala-berhala tersebut, thawaf terhadap mereka, bernadzar dengan berbagai macam nadzar untuk mereka, memberikan pelayanan untuk berhala-berhala tersebut dengan penuh kerendahan diri dan sikap tawadhu’, dan sujud terhadap mereka. Bersamaan dengan perbuatan mereka ini, mereka menetapkan rububbiyyah untuk Allah, dan menetapkan bahwa Allah semata yang Maha Mencipta. Akan tetapi tatkala mereka mempersekutukan Allah dalam ibada, Allah menjadikan mereka sebagi orang musyirik dan tidak menganggap sedikitpun penetapan mereka terhadap Rububbiyyah Allah تعالى, dia harus menunggalkan Allah dalam Tauhid Ibadah. Barangsiapa yang tidak melakukan ini, maka penetapannya terhadap yang pertama (tauhid rububbiyyah) adalah bathil. Dan sungguh orang-orang musyrik mengetahui hal tersebut ketika mereka berada dalam neraka, mereka berkata :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ، إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah! Kami (dahulu) betul-betul dalam kesesatan yang nyata ketika kami menyamakan kalian (berhala-berhala) dengan Rabb alam semesta”.Qs Asy Syu’ara:97-98
Padahal orang-orang musyrik tersebut tidak menyamakan Allah dengan berhala-berhala tersebut dari sisi, dan tidak menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai pencipta dan pemberi rezki. Akan tetapi –saat mereka berada didasar jahannam- mereka mengetahui bahwa mereka mencampuradukkan penetapan tauhid Rububbiyyah Allah dengan Noda-Noda kesyirikan yang menjadikan mereka seperti orang-orang yang menyamakan antara berhala dengan Rabbnya Manusia. Allah تعالى berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidaklah beriman kepada Allah kecuali mereka melakukan kesyirikan”.Qs. Yusuf : 106
Yaitu : tidaklah kebanyakan mereka menetapkan adanya Allah dan bahwasanya hanyalah Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, melainkan mereka juga melakukan kesyirikan dengan menyembah berhala.
[Bahkan Riya termasuk Syirik]
Bahkan Allah menamakan riya’ dalam ketaatan sebagai kesyirikan, padahal pelaku ketaatan tersebut tidaklah memaksudkan ibadahnya kecuali untuk Allah تعالى, dia hanya menginginkan dengan ketaatan tersebut untuk mencari kedudukan dalam hati manusia. Maka orang yang riya’ tersebut adalah orang yang beribadah kepada Allah, bukan kepada yang lain, akan tetapi dia mencampuradukkan amalannya dengan mencari kedudukan dalam hati manusia, maka Allah tidak menerima ibadahnya dan menamakannya sebagai kesyirikan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa Rasulullah bersabda : Allah تعالى berfirman :
أنا أعنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu! Maka barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia persekutukan Aku dengan selain-Ku pada amalan tersebut, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.”
[Memberi Nama dengan Abdul Harits juga Kesyirikan] (1)
Catatan kaki :
(1) Pada bab ini senagja kami tidak meneruskan dikarenakan bab ini adalah suatu kesalahan dari Imam Ash Shan’ani dikarenakan beliau mengambil dalil tafsir surat Al A’raf :170 yang mana beliau menafsirkan ayat ini dengan Hadits dari Samurah رضي الله عنه. Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad (5/11), Tirmidzi (3077), Al Hakim (2/545). Dan hadits ini ternyata dhaif. Tidak bisa dijadikan hujjah dikarenakan juga berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh Al Hasan Al Bashri sesuai apa yang Al Imam Ibnu Katsir Rahimahullah terangkan dalam tafsirnya (2/274).
Turut mendhaifkan Imam Ibnu hazm sebagaimana dinukil didalam kitab Fathul Majid (513) cet darul Fikr. Syaikh Albani juga mendhaifkan di dalam Adh Dhaifah (342) begitu juga Syaikh Ahmad Syakir terhadap tafsir Ath Thabari (13/309)
Ditulis dari Kitab Tathirul I'tiqad Min Adranilhad Imam Ash Shan'ani
Sucikan Aqidah dari Noda-Noda Syirik (Pasal 1)
Pasal 1
Apabila kamu mengetahui landasan-landasan ini maka ketahuilah bahwa Allah menjadikan ibadah kepada Nya menjadi beberapa jenis.
1. I’tiqadiyyah.
Ini Pondasi ibadah, yaitu seseorang berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala Dialah Rabb Yang Maha Esa, yang milik Nya penciptaan dan segala urusan, dan ditangan Nya manfaat dan mudharat, dan bahwa Dialah yang tidak ada sekutu bagi Nya, dan tidak satupun yang mampu memberikan syafaat di sisi Nya kecuali dengan izin Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, dan meyakini yang wajib selain dari itu yang merupakan keharusan-keharusan uluhiyyah.
2. Lafzhiyyah
Yaitu mengucapkan kalimat Tauhid. Maka barangsiapa yang meyakini apa yang disebutkan dan tidak mengucapkannya, maka darah dan hartanya tidak terjaga, dan dia seperti iblis, karena Iblis mengakui Tauhid, bahkan dia menetapkannya sebagaimana yang telah kami jelaskan, tetapi dia tidak melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ untuk sujud sehingga dia kafir.
Siapa yang mengucapkannya tidak meyakininya, maka darah dan hartanya terjaga sedangkan hisab (perhitungan)nya disisi Allah عَزَّ وَجَلَّ. Hukumnya adalah hukum orang-orang munafik.
3. badaniyyah.
Seperti berdiri, ruku’, dan sujud dalam sholat, dan diantaranya puasa dan perbuatan-perbuatan haji dan thawaf.
4. Ma’aliyyah
Seperti mengeluarkan harta dalam rangka melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Jenis jenis ibadah wajib dan sunnah yang ebrkaitan dengan harta, badan, dan ucapan sangatlah banyak tapi inilah pokoknya.
Dan apabila telaht etap perkara ini, maka ketahuilah bahwa Allah Ta’al telah mengutus para Nabi عليهم الصلاة والسلام dari yang pertama hingga yang terakhir untuk mengajak para hamba mengesakan ibadah hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ, bukan sekedar untuk menetapkan bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ Pencipta mereka, dan semisal itu. Sebab mereka telah menetapkan hal tersebut sebagaimana yang telah kamu tetapkan dan ulang-ulangi. Oleh karena itu, mereka (Musyrikin) berkata :
أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ
“Apakah kamu datang kepada kami agar kami menyembah Allah semata?”(Qs. Al A’raaf:70)
Yaitu “supaya mengesakan Nya dalam ibadah dan mengkhususkan hanya untuk Nya tanpa sesembahan-sesembahan kami yang lain?” Maka mereka tidak mengingkari kecuali perintah Rasul kepada mereka untuk menunggalkan ibadah hanya kepada Allah. Mereka tidak mengingkari Allah, dan mereka mengatakan bahwa Allah tidak disembah. Bahkan mereka menetapkan bahwa Allah disembah. Namun mereka mengingkari keadaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah, sehingga mereka menyembah sesembahan yang lain bersama Allah, dan mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain Nya, dan membuat tandinga-tandingan bagi Allah, sebagaimana firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kalian mengetahui.”(Qs. Al Baqarah : 22)
Yaitu kalian mengetahui bahwa tidak ada tandingan bagi Allah.
Dahulu orang-orang musyrik mengucapkan talbiyah mereka ketika berhaji,
"لبيك لا شريك لك إلا شريكا هو لك تملكه وما ملك"
“Aku memenuhi panggilan Mu! Tiada sekutu bagi MU, kecuali sekutu bagi Mu yang engkau menguasainya dan apa-apa yang dikuasainya”.
Dan dahulu Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم mendengar perkataan mereka “tidak ada sekutu bagi Mu”, beliau berkata : “sesungguhnya mereka telah menunggalkan Allah yang Maha Mulia, kalau mereka meninggalkan ucapan mereka ‘kecuali sekutu bagi-Mu’.” Maka kesyirikan mereka kepada Allah sekaligus penetapan mereka tenang pengibadahan Allah. Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dimanakah sembahan-semabahan kamu yang dulu kamu sangka?”(Qs. Al An’aam:22)
وَقِيلَ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ
“Dan dikatakan (kepada mereka) serulah sekutu-sekutu kalian, maka berdo’alah kepada mereka (niscaya) mereka tidak dapat mengabulkan permintaan kalian.”(Qs. Al Qashash:64)
قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلا تُنْظِرُونِ
“Katakanlah (wahai Muhammad): serulah sekutu-skutu kalian, kemudian buatlah maker kepada Ku dan jangan kalian tunda lagi.”(Qs. Al A’raf:195)
Maka menjadikan tandingan bagi Allah itu sendiri adalah penetapan tentang pengibadahan Allah. Tidaklah mereka menyembah berhala dengan penuh ketundukan, mendekatkan diri kepada mereka dengan bernadzar dan menyembelih untuk mereka, kecuali karena keyakinan mereka bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan bias memberikan syafa’at bagi mereka di hadapan Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Orang-orang musyrik terdahulu, diantara mereka ada yang menyembah malaikat dan menyeru kepada mereka ketika dalam keadaan genting, dan diantara mereka ada yang menyembah bebatuan dan menyerunya ketika genting. Maka Allah mengutus Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم yang mengajak mereka hanya mengibadahi Allah semata dan supaya mereka menunggalkan Allah sesuai dengan makna dan pelaksanaan kalimat Laa ilaaha Illallah, dalam keadaan meyakini maknanya, mengamalkan konsekuensinya, dan agar mereka tidak berdo’a kepada siapapun bersama Allah. Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman :
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Hanya kepada Allah do’a yang benar. Berhala-berhala selain Allah yang mereka minta dalam do’a tidak dapat mengabulkan apapun untuk mereka.”(Qs. Ar-Ra’d:14)
Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal apabila kalian betul-betul beriman”(Qs. Al Maaidah:23
termasuk syarat kejujuran dalam beriman kepada Allah yaitu kalian tidak bertawakal kecuali hanya kepada Nya, dan kalian menunggalkan Nya dalam do’a dan permintaan ampun. Dan Allah تعالى memerintahkan hambanya untuk mengatakan “hanya kepada Engkau lah kami menyembah”. Dan orang yang mengucapkan belumlah jujur, kecuali jika dia menunggalkan seluruh ibadah hanya kepada AAllah. Kalau tidak, dia adalah pendusta yang dilarang mengucapkan kalimat ini, karena maknanya adalah kami mengkhususkan dan menunggalkan Engkau dalam ibadah tanpa siapapun juga. Dan ini makna firman Allah تعالى :
فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ
“Maka hendaklah hanya kepada Ku lah kalian beribadah.”(Qs. Al Ankabuut:56)
Juga firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“Dan hendaknya hanya kepada Ku lah kalian bertakwa.”(Qs. Al baqarah:41)
Sebagaimana diketahui dalam Ilmu Bayan bahwa dikedepankannya sesuatu yang harusnya diakhirkan memberikan faedah pengkhususan, yaitu : janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah dan jangan menyembah selain Nya dan janganlah bertaqwa kecuali hanya kepada Allah dan jangan bertaqwa selain Nya sebagaimana dalam kitab Al Kasysyaf. Maka menunggalkan Allah Ta’ala dengan tauhidul ibadah tidaklah sempurna kecuali do’a seluruhnya hanya untuk Allah dan seluruh seruan pada waktu sulit maupun dalam keadaan senang tidaklah tertuju kecuali hanya kepada Allah semata, demikian pula istighasah dan isti’anah hanya kepada Allah, demikian juga berlindung, nadzar, menyembelih dan seluruh jenis-jenis ibadah berupa ketundukan serta berdiri dengan penuh penghunaan diri kepada Allah, ruku’, sujud, thawaf, bersih dari pakaian (yang berjahit ketika haji dan umrah), menggundul dan memendekkan rambut (ketika tahallul) semuanya tidaklah terwujud kecuali hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Maka barangsiapa yang melakukan sesuatu amalan dari amalan tersebut untuk makhluk yang hidup atau mati, atau kepada benda mati maka dia telah melakukan kesyirikan dalam ibadah. Dan jadilah makhluk yang ditujukan dalam ibadah-ibadah tersebut sebagai sesembahan yang disembah oleh para penyembahnya, baik yang disembah itu malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, jin, orang yang hidup atau yang mati. Dan jadilah orang yang beribadah dengan ibadah itu atau dengan jenis ibadah apapun sebagai hamba terhadap makhluk tersebut, sebagai orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah walaupun dia mengakui dan menyembah Allah تعالى. Sesungguhnya penetapan orang-orang musyrik akan adanya Allah تعالى dan Taqarrub (pendekatan diri) mereka kepada Nya tidaklah mengeluarkan diri mereka dari kesyirikan dan dari kewajiban untuk menumpahkan darah-darah mereka, serta menawan keluarga mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah. Allah تعالى berfirman dalam hadits qudsi :
أنا أغنى الشركاء عن الشرك
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu”.(Hr. Tirmidzi)
Allah tidak akan menerima amalan yang dalam amalan itu Dia tidaklah beriman kepada Allah seseorang yang menyembah Allah bersama dengan yang lain Nya.
Wallahu A'lam
Apabila kamu mengetahui landasan-landasan ini maka ketahuilah bahwa Allah menjadikan ibadah kepada Nya menjadi beberapa jenis.
1. I’tiqadiyyah.
Ini Pondasi ibadah, yaitu seseorang berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala Dialah Rabb Yang Maha Esa, yang milik Nya penciptaan dan segala urusan, dan ditangan Nya manfaat dan mudharat, dan bahwa Dialah yang tidak ada sekutu bagi Nya, dan tidak satupun yang mampu memberikan syafaat di sisi Nya kecuali dengan izin Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, dan meyakini yang wajib selain dari itu yang merupakan keharusan-keharusan uluhiyyah.
2. Lafzhiyyah
Yaitu mengucapkan kalimat Tauhid. Maka barangsiapa yang meyakini apa yang disebutkan dan tidak mengucapkannya, maka darah dan hartanya tidak terjaga, dan dia seperti iblis, karena Iblis mengakui Tauhid, bahkan dia menetapkannya sebagaimana yang telah kami jelaskan, tetapi dia tidak melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ untuk sujud sehingga dia kafir.
Siapa yang mengucapkannya tidak meyakininya, maka darah dan hartanya terjaga sedangkan hisab (perhitungan)nya disisi Allah عَزَّ وَجَلَّ. Hukumnya adalah hukum orang-orang munafik.
3. badaniyyah.
Seperti berdiri, ruku’, dan sujud dalam sholat, dan diantaranya puasa dan perbuatan-perbuatan haji dan thawaf.
4. Ma’aliyyah
Seperti mengeluarkan harta dalam rangka melaksanakan perintah Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Jenis jenis ibadah wajib dan sunnah yang ebrkaitan dengan harta, badan, dan ucapan sangatlah banyak tapi inilah pokoknya.
Dan apabila telaht etap perkara ini, maka ketahuilah bahwa Allah Ta’al telah mengutus para Nabi عليهم الصلاة والسلام dari yang pertama hingga yang terakhir untuk mengajak para hamba mengesakan ibadah hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ, bukan sekedar untuk menetapkan bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ Pencipta mereka, dan semisal itu. Sebab mereka telah menetapkan hal tersebut sebagaimana yang telah kamu tetapkan dan ulang-ulangi. Oleh karena itu, mereka (Musyrikin) berkata :
أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ
“Apakah kamu datang kepada kami agar kami menyembah Allah semata?”(Qs. Al A’raaf:70)
Yaitu “supaya mengesakan Nya dalam ibadah dan mengkhususkan hanya untuk Nya tanpa sesembahan-sesembahan kami yang lain?” Maka mereka tidak mengingkari kecuali perintah Rasul kepada mereka untuk menunggalkan ibadah hanya kepada Allah. Mereka tidak mengingkari Allah, dan mereka mengatakan bahwa Allah tidak disembah. Bahkan mereka menetapkan bahwa Allah disembah. Namun mereka mengingkari keadaan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah, sehingga mereka menyembah sesembahan yang lain bersama Allah, dan mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain Nya, dan membuat tandinga-tandingan bagi Allah, sebagaimana firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kalian mengetahui.”(Qs. Al Baqarah : 22)
Yaitu kalian mengetahui bahwa tidak ada tandingan bagi Allah.
Dahulu orang-orang musyrik mengucapkan talbiyah mereka ketika berhaji,
"لبيك لا شريك لك إلا شريكا هو لك تملكه وما ملك"
“Aku memenuhi panggilan Mu! Tiada sekutu bagi MU, kecuali sekutu bagi Mu yang engkau menguasainya dan apa-apa yang dikuasainya”.
Dan dahulu Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم mendengar perkataan mereka “tidak ada sekutu bagi Mu”, beliau berkata : “sesungguhnya mereka telah menunggalkan Allah yang Maha Mulia, kalau mereka meninggalkan ucapan mereka ‘kecuali sekutu bagi-Mu’.” Maka kesyirikan mereka kepada Allah sekaligus penetapan mereka tenang pengibadahan Allah. Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
أَيْنَ شُرَكَاؤُكُمُ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dimanakah sembahan-semabahan kamu yang dulu kamu sangka?”(Qs. Al An’aam:22)
وَقِيلَ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ
“Dan dikatakan (kepada mereka) serulah sekutu-sekutu kalian, maka berdo’alah kepada mereka (niscaya) mereka tidak dapat mengabulkan permintaan kalian.”(Qs. Al Qashash:64)
قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلا تُنْظِرُونِ
“Katakanlah (wahai Muhammad): serulah sekutu-skutu kalian, kemudian buatlah maker kepada Ku dan jangan kalian tunda lagi.”(Qs. Al A’raf:195)
Maka menjadikan tandingan bagi Allah itu sendiri adalah penetapan tentang pengibadahan Allah. Tidaklah mereka menyembah berhala dengan penuh ketundukan, mendekatkan diri kepada mereka dengan bernadzar dan menyembelih untuk mereka, kecuali karena keyakinan mereka bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan bias memberikan syafa’at bagi mereka di hadapan Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ mengutus para rasul yang memerintahkan untuk meninggalkan ibadah kepada segala sesuatu selain Allah dan menjelaskan keyakinan mereka yakini pada berhala-berhala tersebut adalah bathil, bahwa mendekatkan diri kepada mereka adalah bathil, dan bahwa hal itu tidak bias dilakukan kecuali hanya untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ semata. Sebagaimana yang telah kamu ketahui pada landasan keempat, orang-orang musyrik dahulu telah menetapkan tauhid rubbubiyyah, yaitu bahwa Allah عَزَّ وَجَلَّ semata yang Maha Mencipta dan Memberikan rezki.
Dari sini kamu mengetahui bahwa tauhid yang didakwahkan para Rasul, dari yang awal yaitu Nuh عليه السلام sampai yang terakhir yaitu Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم adalah Tauhid Al Ibadah. Oleh karena itu, para Rasul berkata kepada mereka :
ألا لا تعبدوا إلا الله
“Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah.”
اعبدوا الله مالكم من إله غيره
“Sembahlah Allah sama sekali tidak ada bagi kalian sembahan yang benar kecuali hanya Dia.”
Orang-orang musyrik terdahulu, diantara mereka ada yang menyembah malaikat dan menyeru kepada mereka ketika dalam keadaan genting, dan diantara mereka ada yang menyembah bebatuan dan menyerunya ketika genting. Maka Allah mengutus Muhammad صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم yang mengajak mereka hanya mengibadahi Allah semata dan supaya mereka menunggalkan Allah sesuai dengan makna dan pelaksanaan kalimat Laa ilaaha Illallah, dalam keadaan meyakini maknanya, mengamalkan konsekuensinya, dan agar mereka tidak berdo’a kepada siapapun bersama Allah. Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman :
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Hanya kepada Allah do’a yang benar. Berhala-berhala selain Allah yang mereka minta dalam do’a tidak dapat mengabulkan apapun untuk mereka.”(Qs. Ar-Ra’d:14)
Dan Allah عَزَّ وَجَلَّ berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal apabila kalian betul-betul beriman”(Qs. Al Maaidah:23
termasuk syarat kejujuran dalam beriman kepada Allah yaitu kalian tidak bertawakal kecuali hanya kepada Nya, dan kalian menunggalkan Nya dalam do’a dan permintaan ampun. Dan Allah تعالى memerintahkan hambanya untuk mengatakan “hanya kepada Engkau lah kami menyembah”. Dan orang yang mengucapkan belumlah jujur, kecuali jika dia menunggalkan seluruh ibadah hanya kepada AAllah. Kalau tidak, dia adalah pendusta yang dilarang mengucapkan kalimat ini, karena maknanya adalah kami mengkhususkan dan menunggalkan Engkau dalam ibadah tanpa siapapun juga. Dan ini makna firman Allah تعالى :
فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ
“Maka hendaklah hanya kepada Ku lah kalian beribadah.”(Qs. Al Ankabuut:56)
Juga firman Allah عَزَّ وَجَلَّ :
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“Dan hendaknya hanya kepada Ku lah kalian bertakwa.”(Qs. Al baqarah:41)
Sebagaimana diketahui dalam Ilmu Bayan bahwa dikedepankannya sesuatu yang harusnya diakhirkan memberikan faedah pengkhususan, yaitu : janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada Allah dan jangan menyembah selain Nya dan janganlah bertaqwa kecuali hanya kepada Allah dan jangan bertaqwa selain Nya sebagaimana dalam kitab Al Kasysyaf. Maka menunggalkan Allah Ta’ala dengan tauhidul ibadah tidaklah sempurna kecuali do’a seluruhnya hanya untuk Allah dan seluruh seruan pada waktu sulit maupun dalam keadaan senang tidaklah tertuju kecuali hanya kepada Allah semata, demikian pula istighasah dan isti’anah hanya kepada Allah, demikian juga berlindung, nadzar, menyembelih dan seluruh jenis-jenis ibadah berupa ketundukan serta berdiri dengan penuh penghunaan diri kepada Allah, ruku’, sujud, thawaf, bersih dari pakaian (yang berjahit ketika haji dan umrah), menggundul dan memendekkan rambut (ketika tahallul) semuanya tidaklah terwujud kecuali hanya kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ.
Maka barangsiapa yang melakukan sesuatu amalan dari amalan tersebut untuk makhluk yang hidup atau mati, atau kepada benda mati maka dia telah melakukan kesyirikan dalam ibadah. Dan jadilah makhluk yang ditujukan dalam ibadah-ibadah tersebut sebagai sesembahan yang disembah oleh para penyembahnya, baik yang disembah itu malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, jin, orang yang hidup atau yang mati. Dan jadilah orang yang beribadah dengan ibadah itu atau dengan jenis ibadah apapun sebagai hamba terhadap makhluk tersebut, sebagai orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah walaupun dia mengakui dan menyembah Allah تعالى. Sesungguhnya penetapan orang-orang musyrik akan adanya Allah تعالى dan Taqarrub (pendekatan diri) mereka kepada Nya tidaklah mengeluarkan diri mereka dari kesyirikan dan dari kewajiban untuk menumpahkan darah-darah mereka, serta menawan keluarga mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah. Allah تعالى berfirman dalam hadits qudsi :
أنا أغنى الشركاء عن الشرك
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu”.(Hr. Tirmidzi)
Allah tidak akan menerima amalan yang dalam amalan itu Dia tidaklah beriman kepada Allah seseorang yang menyembah Allah bersama dengan yang lain Nya.
Wallahu A'lam
Bingkisan untuk Panitia OSPEK
Dahulu kala ummat manusia telah mengenal diktator-diktator sadis yang memerintah dengan tangan-tangan besi. Dari zaman ke zaman, dunia melahirkan diktator-diktator sadis yang tak berprikemanusian, dan melenceng jauh dari tuntunan Allah -Azza wa Jalla-. Masih segar dalam ingatan kita beberapa diktator yang pernah ada di dunia, seperti Raja Namrud, Fir’aun, Hittler, Napoleon Bonaparte, Jengis Khan, dan sebagainya. Mereka adalah orang-orang zholim dan sewenang-wenang atas hamba-hamba Allah.
Jarum waktu senantiasa berjalan sampai lahirlah kompilasi (gabungan) diktator-diktator sadis gaya baru yang masuk dalam dunia pendidikan dan almamater melalui pintu "OSPEK" (Orietasi Pengenalan Kampus). Jika dahulu para diktator jumlahnya sedikit, maka sekarang beda halnya. Jumlahnya menjamur bak jamur di musim hujan, khususnya saat penerimaan MABA (Mahasiswa Baru). Maka muncullah diktator-diktator (yaitu, para mahasiswa senior) menampakkan taring keganasan mereka, siap menzholimi para hamba Allah dari kalangan MABA dengan berkedok "Orientasi". Aksi zholim seperti ini Anda bisa lihat -khususnya- di kota Makassar, Sulsel, saat penerimaan MABA di sebagian perguruan tinggi.
Kezholiman dan penyiksaan yang diperbuat oleh para mahasiswa senior atas MABA sungguh telah melampaui batas; melebihi kezholiman para diktator tersebut, dan orang-orang komunis (PKI). Perhatikan, para diktator (baca: para senior) itu menzholimi dan menyiksa hamba-hamba Allah; para senior memukuli mereka, mengurung, menakut-nakuti, mengadu MABA, menampar, melukai, mengambil uang mereka secara batil, menodai wanita, menghina kehormatan saudaranya, bahkan memerintahkan para MABA (Junior) untuk melakukan kekafiran dan kesyirikan, seperti bersujud di depan mumi, atau sebuah patung yang mereka buat. Sungguh perbuatan ini telah melampaui batasan Allah. Para senior tak lagi takut kepada Allah -Ta’ala-; seakan-akan mereka tak lagi memiliki Tuhan yang akan menghisab dan membalas kezholiman mereka.
OSPEK , singkatan untuk: "Orientasi Pengenalan Kampus". Nampaknya manis, tapi hakikatnya pahit dan beracun. Singkatan ini baiknya diubah arti dan maknanya sehingga kita katakan, OSPEK adalah singkatan bagi "Orientasi Penyiksaan Kampus".
Diantara bentuk pelanggaran, dan kezholiman yang terjadi dalam OSPEK, dilakoni oleh para mahasiswa senior:
* Penyiksaan Hamba-hamba Allah
Para senior menyiksa para mahasiswa baru (junior) dalam OSPEK adalah perkara yang sudah menjadi rahasia umum; mulai dari kengkreng, mencambuk, memukul, menempeleng, merendam orang, merayap dalam jarak jauh, menendang, melukai, dan lainnya. Para senior telah lepas kontrol, seakan binatang buas menyeruduk, dan melakukan apa saja yang mereka inginkan; seakan manusia purba yang hidup tanpa aturan, dan bergaya anarkis. Demi Allah, mereka akan dihisab, dan disiksa oleh Allah. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعَذِّبُ الَّذِيْنَ يُعَذِّبُوْنَ النَّاسَ فِيْ الدُّنْيَا
"Sesungguhnya Allah -Azza wa Jalla- akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia". [HR. Muslim (2613), dan Abu Dawud (3045)]
Bentuk penyiksaan yang sering dilakukan oleh senior, memukul para junior, bahkan menampar wajahnya yang mulia. Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Adapun memukul wajah, maka hal itu terlarang pada setiap hewan yang terhormat berupa manusia, keledai, kuda, onta, bagal,kambing, dan lainnya. Tapi hal itu pada manusia lebih bermasalah, karena wajah adalah pusat keindahan. Disamping itu, wajah juga lembut, karena akan nampak padanya bekas pukulan. Terkadang pukulan itu akan merusaknya, dan mengganggu sebagian panca indra". [Lihat Syarh Shohih Muslim (14/323)]
* Membuat Orang Marah, dan Jengkel
Menyayangi, dan menghormati orang-orang yang lebih rendah kedudukannya (seperti, orang miskin, mahasiswa junior, anak kecil, dan lainnya) adalah perkara yang dianjurkan oleh agama kita. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang tidak menyayangi orang kecil diantara kami, dan tidak mengenal hak orang besar (orang tua) diantara kami, maka ia bukan termasuk golongan kami". [HR. Abu Dawud (4943), dan At-Tirmidziy (1920)]
Orang-orang yang tidak menyayangi, dan tak menghormati orang-orang kecil dan rendahan, maka mereka tak disayangi oleh Allah. Bahkan mereka telah membuat Allah murka kepadanya, jika ia membuat orang-orang rendahan jadi marah dan jengkel. Amr bin A’idz Al-Muzaniy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ أَتَى عَلَى سَلْمَانَ وَ صُهَيْبٍ وَبِلاَلٍ فِيْ نَفَرٍ فَقَالُوْا: وَاللهِ, مَا أَخَذَتْ سُيُوْفُ اللهِ مِنْ عُنُقِ عَدُوِّ اللهِ مَأْخَذَهَا قَالَ: فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَتَقُوْلُوْنَ هَذَا لِشَيْخِ قُرَيْشٍ وَسَيِّدِهِمْ ؟ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ, لَعَلَّكَ أَغْضَبْتَهُمْ, لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبْتَ رَبَّكَ
"Abu Sufyan pernah datang (waktu itu masih musyrik, -pen) kepada Salman, Shuhaib, dan Bilal bersama rombongan. Mereka pun (Salman, dkk) berkata, "Demi Allah, pedang-pedang Allah belum mengenai leher musuh-musuh Allah". Amer bin A’idz berkata, "Abu Bakar berkata, "Apakah kalian mau mengucapkan hal seperti ini kepada Orang tua dan Pemimpin Quraisy ini (yakni, Abu Sufyan)? Lalu Abu Bakar pun datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya mengabarkan kejadian itu. Beliau bersabda, "Wahai Abu Bakar, barangkali engkau telah membuat mereka marah. Jika kau telah membuat mereka marah, maka kau telah membuat Robb-mu marah". [HR. Muslim (2504)]
Al-Imam Abu Zakariyya’ An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat keutamaan yang jelas bagi Salman, dan kawan-kawan mereka ini. Di dalamnya juga terdapat (anjuran) untuk menjaga hati (perasaan) orang-orang lemah, orang yang beragama; memuliakan, dan bersikap lembut kepada mereka". [Lihat Al-Minhaj (16/66)]
Jadi, membuat orang-orang lemah dan rendahan jadi marah dan tersinggung merupakan perkara yang tercela dalam Islam. Apalagi jika orang lemah adalah orang yang sholeh dan beragama.
* Memperolok-olok & Menghina Junior
Kata-kata kotor dan hina yang keluar dari mulut-mulut mahasiswa senior dalam OSPEK ketika menghina, dan memperolok-olokkan junior; sudah menjadi menjadi lumrah dan halal di sisi para senior. Padahal Allah melarang kita menghina yang lain,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan (menghina) kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan (menghina) kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri, dan janganlah melakukan tanabuz (memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan). seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim". (QS. Al-Hujuraat: 11).
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- berkata dalam memaknai ayat ini, "Janganlah seorang diantara kalian mencela saudaranya, dan menggelarinya dengan gelar-gelar hina yang ia benci jika disematkan kepadanya. Inilah tanabuz. Adapun gelar-gelar yang tak tercela, maka ia tak masuk dalam hal ini". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal.801)]
Menghina MABA dengan gelar-gelar jelek adalah hal yang lumrah dilakukan oleh senior mereka, misalnya senior menggelari MABA dengan "si Gundul", "si Botak", "Monyet", "Anjing", "Babi", dan lainnya.
Ibnu An-Nuhhas Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata dalam Tanbih Al-Ghofilin (hal. 149), "An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Adzkar, "Para ulama’ telah menyepakati pengharaman memberikan gelar-gelar (jelek) kepada manusia dengan sesuatu yang ia benci, sama saja apakah gelar itu adalah sifat baginya, seperti si Mata Rabun, si Pincang, si Juling, si Kecil; ataukah gelar itu adalah sifat ayah, dan ibunya, atau selainnya diantara perkara yang ia benci". [Lihat Al-Adzkar : Kitabul Asma' (hal. 662)]
Jika kita mau menelusuri dan mengintai kegiatan OSPEK, maka kita akan menjumpai beragam penghinaan dan olok-olokan, mulai dari perintah menggundul kepala, mencukur sebagian rambut dengan model yang menggelitik, mencoreng wajah dengan arang, perintah panjat ke tiang listrik sambil teriak, "aku maling!! Aku gila!!!", mengepang rambut dalam jumlah banyak, dan lainnya.
Lebih edan lagi, jika mereka menghina orang-orang berjenggot karena mengamalkan sunnah, dan wanita berjilbab. Sebab menghina dan mengolok-olok orang karena berpegang teguhnya kepada sunnah adalah sebuah kekafiran !!!
* Memerintahkan Kekafiran, dan Kesyirikan
Sebuah pelanggaran dan dosa yang besar dalam OSPEK, sebagian mahasiswa senior memerintahkan setiap MABA untuk bersujud dan membungkuk (ruku’) depan patung, atau mumi. Ketahuilah bahwa perkara seperti ini haram, karena sujud adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan, kecuali di depan Allah. Jika seorang bersujud di depan makhluk, maka berarti ia telah mempersekutukan Allah dalam beribadah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا يَنْبَغِيْ ِلأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ يَنْبَغِيْ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا لِمَا عَظَّمَ اللهُ عَلَيْهَا مِنْ حَقِّهِ
"Tidak pantas bagi seorang manusia untuk bersujud kepada seorang makhluk. Andai ada seorang yang pantas untuk bersujud kepada yang lain, maka aku akan memerintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya, karena Allah menjadikan hak suami besar atas sang istri". [HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (4162), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (14481). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Ihsan (9/470)]
Ketika menjawab seorang penanya yang bertanya tentang hukum ruku’ kepada selain Allah, maka para ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa, "Tidak boleh, bahkan hal itu adalah kesyirikan, karena ruku’ adalah ibadah kepada Allah -Subhanahu-, seperti halnya bersujud tidak boleh dilakukan untuk selain Allah –Subhanahu-".[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah (1/337)]
* Membunuh Seorang Muslim
Diantara dosa besar yang dilakoni oleh sebagian senior, membunuh sebagian juniornya. Sekitar tahun 1996 M , telah terbunuh beberapa Maba, akibat ulah senior yang memerintahkan Maba untuk berenang di sebuah sungai. Mereka dipaksa berenang, padahal tak bisa renang. Akhirnya sekawanan Maba meninggal dalam kasus OSPEK itu. Allah berfirman,
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS. An-Nisaa’: 93).
Ini adalah ancaman yang berat bagi orang yang membunuh seorang muslim. Bagaimana lagi jika membunuh lebih dari seorang. Cukuplah hal ini menjadikan alasan bagi kita mengharamkan perbuatan sadis mereka dalam kegiatan OSPEK !!
Inilah beberapa gelintir pelanggaran OSPEK. Andai kita mau menghitungnya, maka terlalu banyak, seperti menodai anak gadis orang, para senior menganggap dirinya ma’shum yang tak pernah salah, memakan uang haram melalui pajak-pajak liar dalam OSPEK, Mengolok-olok agama atau sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan lainnya. Ringkasnya, OSPEK atau MOS yang mengandung kezholiman dan pelanggaran terhadap batasan syari’at merupakan perkara haram !!
Jarum waktu senantiasa berjalan sampai lahirlah kompilasi (gabungan) diktator-diktator sadis gaya baru yang masuk dalam dunia pendidikan dan almamater melalui pintu "OSPEK" (Orietasi Pengenalan Kampus). Jika dahulu para diktator jumlahnya sedikit, maka sekarang beda halnya. Jumlahnya menjamur bak jamur di musim hujan, khususnya saat penerimaan MABA (Mahasiswa Baru). Maka muncullah diktator-diktator (yaitu, para mahasiswa senior) menampakkan taring keganasan mereka, siap menzholimi para hamba Allah dari kalangan MABA dengan berkedok "Orientasi". Aksi zholim seperti ini Anda bisa lihat -khususnya- di kota Makassar, Sulsel, saat penerimaan MABA di sebagian perguruan tinggi.
Kezholiman dan penyiksaan yang diperbuat oleh para mahasiswa senior atas MABA sungguh telah melampaui batas; melebihi kezholiman para diktator tersebut, dan orang-orang komunis (PKI). Perhatikan, para diktator (baca: para senior) itu menzholimi dan menyiksa hamba-hamba Allah; para senior memukuli mereka, mengurung, menakut-nakuti, mengadu MABA, menampar, melukai, mengambil uang mereka secara batil, menodai wanita, menghina kehormatan saudaranya, bahkan memerintahkan para MABA (Junior) untuk melakukan kekafiran dan kesyirikan, seperti bersujud di depan mumi, atau sebuah patung yang mereka buat. Sungguh perbuatan ini telah melampaui batasan Allah. Para senior tak lagi takut kepada Allah -Ta’ala-; seakan-akan mereka tak lagi memiliki Tuhan yang akan menghisab dan membalas kezholiman mereka.
OSPEK , singkatan untuk: "Orientasi Pengenalan Kampus". Nampaknya manis, tapi hakikatnya pahit dan beracun. Singkatan ini baiknya diubah arti dan maknanya sehingga kita katakan, OSPEK adalah singkatan bagi "Orientasi Penyiksaan Kampus".
Diantara bentuk pelanggaran, dan kezholiman yang terjadi dalam OSPEK, dilakoni oleh para mahasiswa senior:
* Penyiksaan Hamba-hamba Allah
Para senior menyiksa para mahasiswa baru (junior) dalam OSPEK adalah perkara yang sudah menjadi rahasia umum; mulai dari kengkreng, mencambuk, memukul, menempeleng, merendam orang, merayap dalam jarak jauh, menendang, melukai, dan lainnya. Para senior telah lepas kontrol, seakan binatang buas menyeruduk, dan melakukan apa saja yang mereka inginkan; seakan manusia purba yang hidup tanpa aturan, dan bergaya anarkis. Demi Allah, mereka akan dihisab, dan disiksa oleh Allah. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعَذِّبُ الَّذِيْنَ يُعَذِّبُوْنَ النَّاسَ فِيْ الدُّنْيَا
"Sesungguhnya Allah -Azza wa Jalla- akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia". [HR. Muslim (2613), dan Abu Dawud (3045)]
Bentuk penyiksaan yang sering dilakukan oleh senior, memukul para junior, bahkan menampar wajahnya yang mulia. Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Adapun memukul wajah, maka hal itu terlarang pada setiap hewan yang terhormat berupa manusia, keledai, kuda, onta, bagal,kambing, dan lainnya. Tapi hal itu pada manusia lebih bermasalah, karena wajah adalah pusat keindahan. Disamping itu, wajah juga lembut, karena akan nampak padanya bekas pukulan. Terkadang pukulan itu akan merusaknya, dan mengganggu sebagian panca indra". [Lihat Syarh Shohih Muslim (14/323)]
* Membuat Orang Marah, dan Jengkel
Menyayangi, dan menghormati orang-orang yang lebih rendah kedudukannya (seperti, orang miskin, mahasiswa junior, anak kecil, dan lainnya) adalah perkara yang dianjurkan oleh agama kita. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang tidak menyayangi orang kecil diantara kami, dan tidak mengenal hak orang besar (orang tua) diantara kami, maka ia bukan termasuk golongan kami". [HR. Abu Dawud (4943), dan At-Tirmidziy (1920)]
Orang-orang yang tidak menyayangi, dan tak menghormati orang-orang kecil dan rendahan, maka mereka tak disayangi oleh Allah. Bahkan mereka telah membuat Allah murka kepadanya, jika ia membuat orang-orang rendahan jadi marah dan jengkel. Amr bin A’idz Al-Muzaniy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ أَتَى عَلَى سَلْمَانَ وَ صُهَيْبٍ وَبِلاَلٍ فِيْ نَفَرٍ فَقَالُوْا: وَاللهِ, مَا أَخَذَتْ سُيُوْفُ اللهِ مِنْ عُنُقِ عَدُوِّ اللهِ مَأْخَذَهَا قَالَ: فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَتَقُوْلُوْنَ هَذَا لِشَيْخِ قُرَيْشٍ وَسَيِّدِهِمْ ؟ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ, لَعَلَّكَ أَغْضَبْتَهُمْ, لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبْتَ رَبَّكَ
"Abu Sufyan pernah datang (waktu itu masih musyrik, -pen) kepada Salman, Shuhaib, dan Bilal bersama rombongan. Mereka pun (Salman, dkk) berkata, "Demi Allah, pedang-pedang Allah belum mengenai leher musuh-musuh Allah". Amer bin A’idz berkata, "Abu Bakar berkata, "Apakah kalian mau mengucapkan hal seperti ini kepada Orang tua dan Pemimpin Quraisy ini (yakni, Abu Sufyan)? Lalu Abu Bakar pun datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya mengabarkan kejadian itu. Beliau bersabda, "Wahai Abu Bakar, barangkali engkau telah membuat mereka marah. Jika kau telah membuat mereka marah, maka kau telah membuat Robb-mu marah". [HR. Muslim (2504)]
Al-Imam Abu Zakariyya’ An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat keutamaan yang jelas bagi Salman, dan kawan-kawan mereka ini. Di dalamnya juga terdapat (anjuran) untuk menjaga hati (perasaan) orang-orang lemah, orang yang beragama; memuliakan, dan bersikap lembut kepada mereka". [Lihat Al-Minhaj (16/66)]
Jadi, membuat orang-orang lemah dan rendahan jadi marah dan tersinggung merupakan perkara yang tercela dalam Islam. Apalagi jika orang lemah adalah orang yang sholeh dan beragama.
* Memperolok-olok & Menghina Junior
Kata-kata kotor dan hina yang keluar dari mulut-mulut mahasiswa senior dalam OSPEK ketika menghina, dan memperolok-olokkan junior; sudah menjadi menjadi lumrah dan halal di sisi para senior. Padahal Allah melarang kita menghina yang lain,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan (menghina) kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan (menghina) kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri, dan janganlah melakukan tanabuz (memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan). seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim". (QS. Al-Hujuraat: 11).
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- berkata dalam memaknai ayat ini, "Janganlah seorang diantara kalian mencela saudaranya, dan menggelarinya dengan gelar-gelar hina yang ia benci jika disematkan kepadanya. Inilah tanabuz. Adapun gelar-gelar yang tak tercela, maka ia tak masuk dalam hal ini". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal.801)]
Menghina MABA dengan gelar-gelar jelek adalah hal yang lumrah dilakukan oleh senior mereka, misalnya senior menggelari MABA dengan "si Gundul", "si Botak", "Monyet", "Anjing", "Babi", dan lainnya.
Ibnu An-Nuhhas Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata dalam Tanbih Al-Ghofilin (hal. 149), "An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Adzkar, "Para ulama’ telah menyepakati pengharaman memberikan gelar-gelar (jelek) kepada manusia dengan sesuatu yang ia benci, sama saja apakah gelar itu adalah sifat baginya, seperti si Mata Rabun, si Pincang, si Juling, si Kecil; ataukah gelar itu adalah sifat ayah, dan ibunya, atau selainnya diantara perkara yang ia benci". [Lihat Al-Adzkar : Kitabul Asma' (hal. 662)]
Jika kita mau menelusuri dan mengintai kegiatan OSPEK, maka kita akan menjumpai beragam penghinaan dan olok-olokan, mulai dari perintah menggundul kepala, mencukur sebagian rambut dengan model yang menggelitik, mencoreng wajah dengan arang, perintah panjat ke tiang listrik sambil teriak, "aku maling!! Aku gila!!!", mengepang rambut dalam jumlah banyak, dan lainnya.
Lebih edan lagi, jika mereka menghina orang-orang berjenggot karena mengamalkan sunnah, dan wanita berjilbab. Sebab menghina dan mengolok-olok orang karena berpegang teguhnya kepada sunnah adalah sebuah kekafiran !!!
* Memerintahkan Kekafiran, dan Kesyirikan
Sebuah pelanggaran dan dosa yang besar dalam OSPEK, sebagian mahasiswa senior memerintahkan setiap MABA untuk bersujud dan membungkuk (ruku’) depan patung, atau mumi. Ketahuilah bahwa perkara seperti ini haram, karena sujud adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan, kecuali di depan Allah. Jika seorang bersujud di depan makhluk, maka berarti ia telah mempersekutukan Allah dalam beribadah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا يَنْبَغِيْ ِلأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ يَنْبَغِيْ أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا لِمَا عَظَّمَ اللهُ عَلَيْهَا مِنْ حَقِّهِ
"Tidak pantas bagi seorang manusia untuk bersujud kepada seorang makhluk. Andai ada seorang yang pantas untuk bersujud kepada yang lain, maka aku akan memerintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya, karena Allah menjadikan hak suami besar atas sang istri". [HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (4162), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (14481). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Ihsan (9/470)]
Ketika menjawab seorang penanya yang bertanya tentang hukum ruku’ kepada selain Allah, maka para ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa, "Tidak boleh, bahkan hal itu adalah kesyirikan, karena ruku’ adalah ibadah kepada Allah -Subhanahu-, seperti halnya bersujud tidak boleh dilakukan untuk selain Allah –Subhanahu-".[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah (1/337)]
* Membunuh Seorang Muslim
Diantara dosa besar yang dilakoni oleh sebagian senior, membunuh sebagian juniornya. Sekitar tahun 1996 M , telah terbunuh beberapa Maba, akibat ulah senior yang memerintahkan Maba untuk berenang di sebuah sungai. Mereka dipaksa berenang, padahal tak bisa renang. Akhirnya sekawanan Maba meninggal dalam kasus OSPEK itu. Allah berfirman,
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS. An-Nisaa’: 93).
Ini adalah ancaman yang berat bagi orang yang membunuh seorang muslim. Bagaimana lagi jika membunuh lebih dari seorang. Cukuplah hal ini menjadikan alasan bagi kita mengharamkan perbuatan sadis mereka dalam kegiatan OSPEK !!
Inilah beberapa gelintir pelanggaran OSPEK. Andai kita mau menghitungnya, maka terlalu banyak, seperti menodai anak gadis orang, para senior menganggap dirinya ma’shum yang tak pernah salah, memakan uang haram melalui pajak-pajak liar dalam OSPEK, Mengolok-olok agama atau sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan lainnya. Ringkasnya, OSPEK atau MOS yang mengandung kezholiman dan pelanggaran terhadap batasan syari’at merupakan perkara haram !!
macam-macam syirk 2
10. Syirik dalam Niat: BERAMAL KARENA DUNIA
Bentuk yang kedua dari syirik dalam niat adalah seorang yang beribadah karena dunia, seperti karena harta, pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَواةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15, 16)
PENGECUALIAN: Diperkecualikan dalam masalah ini, amalan-amalan tertentu yang diizinkan oleh Allah Ta’ala untuk seorang berniat karena Allah dan juga berniat untuk mendapatkan ganjaran dari Allah di dunia. Yakni yang disebutkan dalam nash tentang amalan tertentu, seperti berjihad karena Allah dan juga untuk mendapatkan ghanimah, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من قتل قتيلا فله سلبه
“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya al-Imam Al-Alusi rahimahullah, hal. 56)
Contoh lain, seorang yang menyambung silaturrahim karena Allah dan juga untuk mendapatkan keluasan rezeki. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” (HR. Al-Bukhari, no. 5639)
Hal ini diperkecualikan karena telah disebutkan ganjaran-ganjaran tersebut dalam nash, adapun yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh. Namun tentunya, jika niat seseorang ikhlas hanya karena Allah semata dalam beramal, itu yang lebih utama.
BAGAIMANA membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?
Asy-Syaikh Hafiz al-Hakami rahimahullah berkata, “(Pertama): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima (tauhid). (Kedua): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seorang beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun seorang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa dan hartanya, dan selainnya.” (Ma’arijul Qabul, 2/493)
“(Ketiga): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya, maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan syirik kecil.” (Ma’arijul Qabul, 2/494)
BAGAIMANA dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).” (Al-Qaulul Mufid, 2/91-92)
BAGAIMANA dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkan ghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 133)
Wallahu A’la wa A’lam.
Bentuk yang kedua dari syirik dalam niat adalah seorang yang beribadah karena dunia, seperti karena harta, pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَواةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15, 16)
PENGECUALIAN: Diperkecualikan dalam masalah ini, amalan-amalan tertentu yang diizinkan oleh Allah Ta’ala untuk seorang berniat karena Allah dan juga berniat untuk mendapatkan ganjaran dari Allah di dunia. Yakni yang disebutkan dalam nash tentang amalan tertentu, seperti berjihad karena Allah dan juga untuk mendapatkan ghanimah, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من قتل قتيلا فله سلبه
“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya al-Imam Al-Alusi rahimahullah, hal. 56)
Contoh lain, seorang yang menyambung silaturrahim karena Allah dan juga untuk mendapatkan keluasan rezeki. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” (HR. Al-Bukhari, no. 5639)
Hal ini diperkecualikan karena telah disebutkan ganjaran-ganjaran tersebut dalam nash, adapun yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh. Namun tentunya, jika niat seseorang ikhlas hanya karena Allah semata dalam beramal, itu yang lebih utama.
BAGAIMANA membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?
Asy-Syaikh Hafiz al-Hakami rahimahullah berkata, “(Pertama): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima (tauhid). (Kedua): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seorang beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun seorang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa dan hartanya, dan selainnya.” (Ma’arijul Qabul, 2/493)
“(Ketiga): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya, maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan syirik kecil.” (Ma’arijul Qabul, 2/494)
BAGAIMANA dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).” (Al-Qaulul Mufid, 2/91-92)
BAGAIMANA dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkan ghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 133)
Wallahu A’la wa A’lam.
Macam Macam Syirk
9. Syirik dalam Niat: RIYA' dan SUM'AH
Riya’ adalah seorang yang memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain demi mendapat pujian. Termasuk juga dalam makna ini adalah sum’ah, yakni seorang memperdengarkan atau menceritakan amalannya kepada orang lain demi mendapat pujian.
Berdasarkan tingkatannya, riya’ terbagi dua:
Pertama: Syirik besar, apabila seorang beribadah dengan niat semata-mata untuk mempertontonkan amalannya demi mendapat pujian, tidak ada sedikitpun dalam hatinya niat karena Allah. Hal ini seperti syiriknya orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah Ta’ala:
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142)
Kedua: Syirik kecil, apabila seorang beribadah karena Allah namun niatnya tercampuri dengan riya’, maka yang seperti ini termasuk syirik kecil yang menyebabkan tertolaknya ibadah seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth, no. 23680 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32)
PERINGATAN: Meninggalkan amal karena takut dibilang riya’ juga riya’
Seorang yang meninggalkan suatu amalan karena takut dibilang riya’ juga termasuk perbuatan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia bukan karena Allah.
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta’ala menyelamatkanmu dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6879)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih afdhal dikerjakan secara terang-terangan.” (Syarhul Arba’in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11)
APAKAH mendapat pujian manusia tanpa menginginkannya termasuk riya’?
Apabila seorang telah berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjauhi riya’ lalu ia mendapat pujian manusia atas amal-amal shalih yang ia kerjakan, maka pujian tersebut tidak termasuk riya’, bahkan ia adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliu bersabda:
تلك عاجل بشرى المؤمن
“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim, no. 6891)
Akan tetapi, janganlah sampai pujian-pujian manusia tersebut membawa seseorang kepada sifat ujub (bangga diri, merasa lebih dari yang lain). Karena hakikat sifat ujub adalah bentuk lain dari riya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah seorang menyekutukan Allah dengan makhluq, sedang ujub adalah menyekutukan Allah dangan dirinya sendiri.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/277)
BAHAYA sifat ujub telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
ثلاث مهلكات : شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه
“Tiga perkara yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya (ujub).” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 731, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 1802)
Bersambung insya Allah.
Riya’ adalah seorang yang memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain demi mendapat pujian. Termasuk juga dalam makna ini adalah sum’ah, yakni seorang memperdengarkan atau menceritakan amalannya kepada orang lain demi mendapat pujian.
Berdasarkan tingkatannya, riya’ terbagi dua:
Pertama: Syirik besar, apabila seorang beribadah dengan niat semata-mata untuk mempertontonkan amalannya demi mendapat pujian, tidak ada sedikitpun dalam hatinya niat karena Allah. Hal ini seperti syiriknya orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah Ta’ala:
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142)
Kedua: Syirik kecil, apabila seorang beribadah karena Allah namun niatnya tercampuri dengan riya’, maka yang seperti ini termasuk syirik kecil yang menyebabkan tertolaknya ibadah seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth, no. 23680 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32)
PERINGATAN: Meninggalkan amal karena takut dibilang riya’ juga riya’
Seorang yang meninggalkan suatu amalan karena takut dibilang riya’ juga termasuk perbuatan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia bukan karena Allah.
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta’ala menyelamatkanmu dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6879)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya’, sebab ia meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih afdhal dikerjakan secara terang-terangan.” (Syarhul Arba’in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11)
APAKAH mendapat pujian manusia tanpa menginginkannya termasuk riya’?
Apabila seorang telah berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjauhi riya’ lalu ia mendapat pujian manusia atas amal-amal shalih yang ia kerjakan, maka pujian tersebut tidak termasuk riya’, bahkan ia adalah kabar gembira yang dipercepat bagi seorang mukmin. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliu bersabda:
تلك عاجل بشرى المؤمن
“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim, no. 6891)
Akan tetapi, janganlah sampai pujian-pujian manusia tersebut membawa seseorang kepada sifat ujub (bangga diri, merasa lebih dari yang lain). Karena hakikat sifat ujub adalah bentuk lain dari riya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah seorang menyekutukan Allah dengan makhluq, sedang ujub adalah menyekutukan Allah dangan dirinya sendiri.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/277)
BAHAYA sifat ujub telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
ثلاث مهلكات : شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه
“Tiga perkara yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya (ujub).” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 731, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 1802)
Bersambung insya Allah.
Faedah Ayat, Hadits, Atsar dari Kitab Tauhid (Bab IX)
Bab IX Tabaruk (mengharap/Ngalap berkah) kepada Pohon, Batu dan Semisalnya.
I. Allah عَزَّ وَجَلَّ Berfirman :
أَفَرَأَيْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الأنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى. إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى.
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” Qs. An-Najm:19-23
Faedah-Faedah dari Ayat :
1.Tabaruk kepada bebatuan dan pepohonan dan selainnya adalah kesyirikan.
2. Disyariatkannya mendebat kaum musyrikin untuk mematahkan kesyirikan dan menegakkan tauhid.
3. Sebuah hukum tidaklah ditetapkan kecuali adanya dalil dari kitab yang diturunkan Allah, tidak boleh dari sekedar sangkaan dan nafsu.
4. Allah Ta’ala telah menegakkan hujjah melalui Rasul yang diutus dan kitab-kitab yang diturunkan.
5. Wajibnya memahasucikan Allah عَزَّ وَجَلَّ dari memiliki anak lelaki dan perempuan.
6. Rusaknya fitrah kaum musyrikin, karena mereka menjadikan anak perepmpuan bagi Allah عَزَّ وَجَلَّ padahal mereka sendiri membenci anak perempuan, meskipun demikian mereka mengaku sebagai orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ.
II. Hadits Abi Waqid Al Laitsy رَضِيَ اللَّهُ عَنْه :
عن أبي واقد الليثي، قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى حنين ونحن حدثاء عهد بكفر، وللمشركين سدرة يعكفون عندها وينوطون بها أسلحتهم، يقال لها: ذات أنواط، فمررنا بسدرة فقلنا: يا رسول الله أجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (الله أكبر! إنها السنن، قلتم ـ والذي نفسي بيده ـ كما قالت بنو إسرائيل لموسى: (اجعل لنا إلهاً كما لهم آلهة قال إنكم قوم تجهلون) (لتركبن سنن من كان قبلكم). [رواه الترمذي وصححه]
“Kami keluar bersama Rasulullah صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم ke Hunain. Saat itu baru saja meninggalkan kekufuran (baru masuk islam) sedangkan kaum musyrikin mempunyai sebuah pohon bidara yang mereka beribadah disisinya dan menggantungkan pedang-pedang mereka padanya. Pohon itu disebut ‘Dzatu Anwath’. Suatu saat kami melewati sebuah pohon bidara, maka kamipun spontan berakata :’Ya Rasulullah buatkanlah kami Dzatu Anwath, sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath!’ maka Rasulullah bersabda : ‘Allahu Akbar! Sungguh inilah tradisi (orang-orang sebelum kalian), Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan Nya, sungguh kalian telah mengatakan suatu perkataan seperti ucapan Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.’(Qs Al-A’raaf:138) sesungguhnya kalian akan benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” Hr Tirmidzi beliau berkata Shahih.
Hr. Tirmidzi (2180) dalam kitabul Fitan dan Imam Ahmad dalam Al Musnad (5/218)
Faedah-Faedah dari hadits :
1. Bertabaruk kepada pepohonan adalah syirik, demikian bertabaruk kepada batu dan semisalnya.
2. Seorang yang telah berpindah dari suatu kebathilan selama ini menjadi kebiasaannya tidak aman bahwa dia dalam hatinya ada sisa kebiasaan itu.
3. Sebab peribadatan ialah penganggungan terhadapny, beribadah disisinya, dan bertabaruk kepadanya.
4. Terakdang seseorang memandang baik sesuatu yang dia anggap bisa mendekatkan diri kepada Allah padahal sebenarnya menjauhkan dia dari Allah عَزَّ وَجَلَّ.
5. Seharusnya setiap muslim bertasbih dan bertakbir jika mendengar kalimat yang tidak sepatutnya untuk diucapkan dalam urusan dien/agama dan ketika terheran.
6. Pemberitahuan Rasulullah صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم tentang akan terjadinya syirik dalam umat ini. Dan sungguh kesyirikan itu telah terjadi.
7. Adanya bukti/ tanda kenabian beliau صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم, dimana kesyirikan terjadi ditubuh umat sebagaimana yang telah beliau kabarkan.
8. Larangan menyerupakan diri dengan orang-orang jahiliyyah, yahudi dan nasrani kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa itu termasuk ajaran dien kita sendiri.
9. Bahwasanya Umat Islam akan meniru gaya Yahudi dan Nasrani.
10. Yang menjadi tolok ukur dalam hukum ialah makna (hakikat sesuatu) dan bukannya sebab Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم menyamakan (hakekat) permintaan mereka dengan (hakekat) permintaan Bani Israil tanpa Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم menoleh bahwa mereka menamakannya dengan dzatu anwath
11. Dianjurkan menjelaskan sesuatu yang penting agar dapat mencegah terjadinya ghibah, dimana dalam hadits diatas Abu Waqid berkata “Saat itu baru saja meninggalkan kekufuran...”
12. I’tikaq (berdiam disuatu tempat) termasuk jenis ibadah.
13. Seseorang dimaafkan dari kesalahan akibat ketidaktahuannya selama ia segera mengubahnya setelah datang penjelasan.
14. Wajibnya menutup wasilah (sarana) yang dapat mengantarkan kepada pelanggaran syariat.
15. Bolehnya bersumpah meskipun tidak diminta jika ada maslahat.
16. Seluruh perkara yang merupakan celaan keoada Yahudi dan Nasrani merupakan peringatan bagi Umat Islam.
Kaitan hadits dengan bab ini.
Hadits ini merupakan dalil bahwa menjadokan pohon sebagai temapt mencari berkah dgn menetap disana merupakan perbuatan syirik. Termasuk pula didalamnya seluruh benda yang dipakai untuk meminta berkah berupa pepohonan, bebatuan, kuburan dan lain-lain.
Wallahu a’lam
Ditulis dan dirangkum dari Kitab Al Fawaaid min Syarh Kitabut Tauhid Syaikh Shalih Ibnu fauzan Al Fauzandan Al Jaddid Fi Syarh Kitabut Tauhid Muhammad As-Sulaiman Al-Qarawi.
I. Allah عَزَّ وَجَلَّ Berfirman :
أَفَرَأَيْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الأنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى. إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى.
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” Qs. An-Najm:19-23
Faedah-Faedah dari Ayat :
1.Tabaruk kepada bebatuan dan pepohonan dan selainnya adalah kesyirikan.
2. Disyariatkannya mendebat kaum musyrikin untuk mematahkan kesyirikan dan menegakkan tauhid.
3. Sebuah hukum tidaklah ditetapkan kecuali adanya dalil dari kitab yang diturunkan Allah, tidak boleh dari sekedar sangkaan dan nafsu.
4. Allah Ta’ala telah menegakkan hujjah melalui Rasul yang diutus dan kitab-kitab yang diturunkan.
5. Wajibnya memahasucikan Allah عَزَّ وَجَلَّ dari memiliki anak lelaki dan perempuan.
6. Rusaknya fitrah kaum musyrikin, karena mereka menjadikan anak perepmpuan bagi Allah عَزَّ وَجَلَّ padahal mereka sendiri membenci anak perempuan, meskipun demikian mereka mengaku sebagai orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ.
II. Hadits Abi Waqid Al Laitsy رَضِيَ اللَّهُ عَنْه :
عن أبي واقد الليثي، قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى حنين ونحن حدثاء عهد بكفر، وللمشركين سدرة يعكفون عندها وينوطون بها أسلحتهم، يقال لها: ذات أنواط، فمررنا بسدرة فقلنا: يا رسول الله أجعل لنا ذات أنواط كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (الله أكبر! إنها السنن، قلتم ـ والذي نفسي بيده ـ كما قالت بنو إسرائيل لموسى: (اجعل لنا إلهاً كما لهم آلهة قال إنكم قوم تجهلون) (لتركبن سنن من كان قبلكم). [رواه الترمذي وصححه]
“Kami keluar bersama Rasulullah صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم ke Hunain. Saat itu baru saja meninggalkan kekufuran (baru masuk islam) sedangkan kaum musyrikin mempunyai sebuah pohon bidara yang mereka beribadah disisinya dan menggantungkan pedang-pedang mereka padanya. Pohon itu disebut ‘Dzatu Anwath’. Suatu saat kami melewati sebuah pohon bidara, maka kamipun spontan berakata :’Ya Rasulullah buatkanlah kami Dzatu Anwath, sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath!’ maka Rasulullah bersabda : ‘Allahu Akbar! Sungguh inilah tradisi (orang-orang sebelum kalian), Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan Nya, sungguh kalian telah mengatakan suatu perkataan seperti ucapan Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.’(Qs Al-A’raaf:138) sesungguhnya kalian akan benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” Hr Tirmidzi beliau berkata Shahih.
Hr. Tirmidzi (2180) dalam kitabul Fitan dan Imam Ahmad dalam Al Musnad (5/218)
Faedah-Faedah dari hadits :
1. Bertabaruk kepada pepohonan adalah syirik, demikian bertabaruk kepada batu dan semisalnya.
2. Seorang yang telah berpindah dari suatu kebathilan selama ini menjadi kebiasaannya tidak aman bahwa dia dalam hatinya ada sisa kebiasaan itu.
3. Sebab peribadatan ialah penganggungan terhadapny, beribadah disisinya, dan bertabaruk kepadanya.
4. Terakdang seseorang memandang baik sesuatu yang dia anggap bisa mendekatkan diri kepada Allah padahal sebenarnya menjauhkan dia dari Allah عَزَّ وَجَلَّ.
5. Seharusnya setiap muslim bertasbih dan bertakbir jika mendengar kalimat yang tidak sepatutnya untuk diucapkan dalam urusan dien/agama dan ketika terheran.
6. Pemberitahuan Rasulullah صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم tentang akan terjadinya syirik dalam umat ini. Dan sungguh kesyirikan itu telah terjadi.
7. Adanya bukti/ tanda kenabian beliau صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم, dimana kesyirikan terjadi ditubuh umat sebagaimana yang telah beliau kabarkan.
8. Larangan menyerupakan diri dengan orang-orang jahiliyyah, yahudi dan nasrani kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa itu termasuk ajaran dien kita sendiri.
9. Bahwasanya Umat Islam akan meniru gaya Yahudi dan Nasrani.
10. Yang menjadi tolok ukur dalam hukum ialah makna (hakikat sesuatu) dan bukannya sebab Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم menyamakan (hakekat) permintaan mereka dengan (hakekat) permintaan Bani Israil tanpa Nabi صَلَى اللَّه عَلَيْه وَ سَلَّم menoleh bahwa mereka menamakannya dengan dzatu anwath
11. Dianjurkan menjelaskan sesuatu yang penting agar dapat mencegah terjadinya ghibah, dimana dalam hadits diatas Abu Waqid berkata “Saat itu baru saja meninggalkan kekufuran...”
12. I’tikaq (berdiam disuatu tempat) termasuk jenis ibadah.
13. Seseorang dimaafkan dari kesalahan akibat ketidaktahuannya selama ia segera mengubahnya setelah datang penjelasan.
14. Wajibnya menutup wasilah (sarana) yang dapat mengantarkan kepada pelanggaran syariat.
15. Bolehnya bersumpah meskipun tidak diminta jika ada maslahat.
16. Seluruh perkara yang merupakan celaan keoada Yahudi dan Nasrani merupakan peringatan bagi Umat Islam.
Kaitan hadits dengan bab ini.
Hadits ini merupakan dalil bahwa menjadokan pohon sebagai temapt mencari berkah dgn menetap disana merupakan perbuatan syirik. Termasuk pula didalamnya seluruh benda yang dipakai untuk meminta berkah berupa pepohonan, bebatuan, kuburan dan lain-lain.
Wallahu a’lam
Ditulis dan dirangkum dari Kitab Al Fawaaid min Syarh Kitabut Tauhid Syaikh Shalih Ibnu fauzan Al Fauzandan Al Jaddid Fi Syarh Kitabut Tauhid Muhammad As-Sulaiman Al-Qarawi.
HUKUM MERAYAKAN MALAM NISHFU SYA’BAN
Malam mulai menjelang, dalam waktu singkat masjid-masjid dan surau-surau mulai ramai dipadati oleh jama’ah. Di tangan-tangan mereka ada sebotol air yang mereka letakkan di tengah-tengah masjid. Di malam itu mereka membaca surat Yasin bersama-sama. Di kalangan ummat islam tradisional malam ini dikenal dengan malam Nishfu Sya’ban yaitu malam pertengahan bulan Sya’ban. Kaum muslimin di negeri ini pada umumnya merayakan malam ini dengan melakukan “yasinan” yaitu membaca surat Yasin beberapa kali dengan diselingi dzikir dan doa-doa, dan semuanya dilakukan berjama'ah di dalam masjid atau surau. Benarkah apa yang mereka lakukan ini? Dan adakah contoh dari Rasulullah dan shahabatnya Radhiyallahu ’anhum dalam menghidupkan malam tersebut dengan melakukan ibadah?
Sebagian ulama menganggap malam ini memiliki keutamaan khusus, hal ini didasari hadits yang dishahihkan oleh sebagian mereka seperti hadits,
يَطَّلِعُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ إِلَى خَلقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَان، فَيَغْفِر لِجَمِيع خَلقِهِ، إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَو مُشَاحِنٍ.
“Allah Tabaaraka wa Ta’aala melihat kepada para makhluknya di malam pertengahan bulan Sya’ban, maka Dia Mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan penghianat” HR Ibnu Hibban dari shahabat Mua’dz bin Jabal Radhiyallahu ’anhu Shahih Ibnu Hibban (12/481) (no; 5665). Asy-Syaikh Al Albani Rahimahullah berkata, “Hadits ini shahih dengan keseluruhan jalan-jalannya…” Ash-Shahihah (no; 1144)
Oleh karena itu sebagian ulama salaf di negeri Syam menghidupkan malam ini dengan melakukan ibadah, seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rahawaih dan Al Auza’i Rahimahumullah.
Dan di antara ulama islam yang mengakui adanya keutamaan malam ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di saat beliau menerangkan bahwa di antara waktu-waktu memang ada yang dimuliakan oleh syariat, akan tetapi dalam praktek ibadahnya terjadi kebid’ahan-kebid’ahan. Beliau berkata, “Termasuk dalam hal ini (waktu-waktu yang dimuliakan tersebut –penerj) adalah malam pertengahan bulan Sya’ban, tentang keutamaannya telah diriwayatkan hadits-hadits yang marfu’ dan atsar-atsar yang mengisyaratkan bahwa malam ini memang malam yang dimuliakan…”. Iqtidha’ Shiratul Mustaqim (2/136)
Asy-Syaikh Aba Buthain Rahimahullah berkata, “Adapun puasa pada pertengahan Sya’ban, hal ini tidak disyari’atkan, walaupun malamnya memang ada keutamaan…” Durarus Sanniyah (5/361)
Adapun ulama yang lain mengingkari keutamaan malam ini dan menganggapnya sama dengan malam-malam yang lain. Zaid bin Aslam Rahimahullah berkata, “Guru-guru kami tidak menganggapnya lebih istimewa dari malam-malam lainnya”. Dan ketika ada orang yang berkata, “Ziyad An-Numari berkata, “Pahala di malam Nisyfu Sya’ban seperti pahala pada malam Lailatul Qadar”. Maka Ibnu Abi Mulaikah berujar, “Seandainya aku mendengarnya dan di tanganku ada tongkat, pasti telah kupukul”.
Adapun menghidupkannya dengan ibadah, kebanyakan ulama Hijaz seperti ‘Atha dan Ibnu Abi Mulaikah, justru mengingkarinya dan juga para fuqaha’ Madinah. Sebagaimana ini juga pendapat para shahabat Imam Malik Rahimahullah, mereka semua mengatakan, “Semua perkara ini adalah bid’ah”.
Terlepas dari ada tidaknya keistimewaan malam ini, tetap tidak seorang pun dari ulama yang meyakini keistimewaannya menghidupkan malam ini seperti yang dilakukan oleh kebanyakan ummat islam sekarang. Apalagi pendapat yang benar bahwa perkara tersebut adalah bid’ah, karena tidak ada satu pun riwayat dari Nabi atau para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu ’anhum bahwa dahulu mereka menghidupkannya dengan melakukan ibadah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Adapun berpuasa di hari tersebut tidak ada dalilnya bahkan dibenci, begitu pula menjadikan malam tersebut sebagai perayaan musiman, makan-makan dan berhias, ini termasuk perkara baru, bid’ah, dan tidak ada asal-usulnya (dalam syari'at)”. Iqtidha’ Shiratul Mustaqim (2/136)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz Rahimahullah berkata, “Diantara bid’ah yang dibuat-buat oleh sebagian orang adalah bid’ah merayakan malam Nishfu Sya’ban dan mengkhususkan siang harinya dengan berpuasa”. Hukmu Al Ihtifal bi Lailati An-Nishf min Sya’ban (hal 27). Masih dalam risalah yang sama, beliau menegaskan, “Berdasarkan uraian ayat-ayat dan hadits-hadits serta ucapan para ulama di atas, jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwa merayakan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan shalat atau yang lainnya serta mengkhususkan siang harinya dengan berpuasa adalah perbuatan bid’ah yang mungkar menurut kebanyakan ulama dan tidak ada asal-usulnya dalam syariat yang suci ini. Bahkan termasuk perkara yang diada-adakan di dalam Islam setelah berlalunya generasi shahabat Radhiyallahu ’anhum.
Dan firman Allah berikut ini cukup bagi para pencari kebenaran dalam perkara ini juga dalam perkara lainnya,
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً} (المائدة:3)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”. (QS. 5:3).
Dan cukuplah pula sabda Nabi ,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمرِنَا هَذَا مَا لَيسَ مِنهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan darinya maka ia tertolak” Muttafaqun ‘Alaihi dari ‘Aisyah Radhiyallahu ’anha.
Wallahua’lam bis Shawaab…
Sebagian ulama menganggap malam ini memiliki keutamaan khusus, hal ini didasari hadits yang dishahihkan oleh sebagian mereka seperti hadits,
يَطَّلِعُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ إِلَى خَلقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَان، فَيَغْفِر لِجَمِيع خَلقِهِ، إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَو مُشَاحِنٍ.
“Allah Tabaaraka wa Ta’aala melihat kepada para makhluknya di malam pertengahan bulan Sya’ban, maka Dia Mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan penghianat” HR Ibnu Hibban dari shahabat Mua’dz bin Jabal Radhiyallahu ’anhu Shahih Ibnu Hibban (12/481) (no; 5665). Asy-Syaikh Al Albani Rahimahullah berkata, “Hadits ini shahih dengan keseluruhan jalan-jalannya…” Ash-Shahihah (no; 1144)
Oleh karena itu sebagian ulama salaf di negeri Syam menghidupkan malam ini dengan melakukan ibadah, seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rahawaih dan Al Auza’i Rahimahumullah.
Dan di antara ulama islam yang mengakui adanya keutamaan malam ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di saat beliau menerangkan bahwa di antara waktu-waktu memang ada yang dimuliakan oleh syariat, akan tetapi dalam praktek ibadahnya terjadi kebid’ahan-kebid’ahan. Beliau berkata, “Termasuk dalam hal ini (waktu-waktu yang dimuliakan tersebut –penerj) adalah malam pertengahan bulan Sya’ban, tentang keutamaannya telah diriwayatkan hadits-hadits yang marfu’ dan atsar-atsar yang mengisyaratkan bahwa malam ini memang malam yang dimuliakan…”. Iqtidha’ Shiratul Mustaqim (2/136)
Asy-Syaikh Aba Buthain Rahimahullah berkata, “Adapun puasa pada pertengahan Sya’ban, hal ini tidak disyari’atkan, walaupun malamnya memang ada keutamaan…” Durarus Sanniyah (5/361)
Adapun ulama yang lain mengingkari keutamaan malam ini dan menganggapnya sama dengan malam-malam yang lain. Zaid bin Aslam Rahimahullah berkata, “Guru-guru kami tidak menganggapnya lebih istimewa dari malam-malam lainnya”. Dan ketika ada orang yang berkata, “Ziyad An-Numari berkata, “Pahala di malam Nisyfu Sya’ban seperti pahala pada malam Lailatul Qadar”. Maka Ibnu Abi Mulaikah berujar, “Seandainya aku mendengarnya dan di tanganku ada tongkat, pasti telah kupukul”.
Adapun menghidupkannya dengan ibadah, kebanyakan ulama Hijaz seperti ‘Atha dan Ibnu Abi Mulaikah, justru mengingkarinya dan juga para fuqaha’ Madinah. Sebagaimana ini juga pendapat para shahabat Imam Malik Rahimahullah, mereka semua mengatakan, “Semua perkara ini adalah bid’ah”.
Terlepas dari ada tidaknya keistimewaan malam ini, tetap tidak seorang pun dari ulama yang meyakini keistimewaannya menghidupkan malam ini seperti yang dilakukan oleh kebanyakan ummat islam sekarang. Apalagi pendapat yang benar bahwa perkara tersebut adalah bid’ah, karena tidak ada satu pun riwayat dari Nabi atau para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu ’anhum bahwa dahulu mereka menghidupkannya dengan melakukan ibadah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Adapun berpuasa di hari tersebut tidak ada dalilnya bahkan dibenci, begitu pula menjadikan malam tersebut sebagai perayaan musiman, makan-makan dan berhias, ini termasuk perkara baru, bid’ah, dan tidak ada asal-usulnya (dalam syari'at)”. Iqtidha’ Shiratul Mustaqim (2/136)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz Rahimahullah berkata, “Diantara bid’ah yang dibuat-buat oleh sebagian orang adalah bid’ah merayakan malam Nishfu Sya’ban dan mengkhususkan siang harinya dengan berpuasa”. Hukmu Al Ihtifal bi Lailati An-Nishf min Sya’ban (hal 27). Masih dalam risalah yang sama, beliau menegaskan, “Berdasarkan uraian ayat-ayat dan hadits-hadits serta ucapan para ulama di atas, jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwa merayakan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan shalat atau yang lainnya serta mengkhususkan siang harinya dengan berpuasa adalah perbuatan bid’ah yang mungkar menurut kebanyakan ulama dan tidak ada asal-usulnya dalam syariat yang suci ini. Bahkan termasuk perkara yang diada-adakan di dalam Islam setelah berlalunya generasi shahabat Radhiyallahu ’anhum.
Dan firman Allah berikut ini cukup bagi para pencari kebenaran dalam perkara ini juga dalam perkara lainnya,
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً} (المائدة:3)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”. (QS. 5:3).
Dan cukuplah pula sabda Nabi ,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمرِنَا هَذَا مَا لَيسَ مِنهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan darinya maka ia tertolak” Muttafaqun ‘Alaihi dari ‘Aisyah Radhiyallahu ’anha.
Wallahua’lam bis Shawaab…
hadits perumpamaan orang yang menuntut ilmu syari bagaikan hujan yang menyirami bumi
Dalam kitab Riyadhus Shalihin Kitabul Ilmi Al Imam An Nawawi menyebutkan hadits nabi shallalahu’alaihi wasallam dari Abi Musa radhiallahu’anhu, dia berkata Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَاسَ فَشَرِبُوْا مِنْهَا وَسَقُوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَمَا هِيَ قِيْعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأَ؛ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ اَلذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan yang oleh karena itu Allah mengutus aku untuk menyampaikanya, seperti hujan lebat jatuh ke bumi; bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak. Ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam. Ada pula hujan yang jatuh kebagian lain, yaitu di atas tanah yang tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama, yang mau memanfaatkan sesuatu yang oleh karena itu Allah mengutus aku menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya. Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya.” (Muttafaqun’alaih)
Abu Abdillah berkata bahwa Ishaq berkata, "Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air, tapi tidak menyerap."
Kandungan Hadits
Tentang hadits diatas, setelah memaparkan keterangan yang menjelaskan hadits diatas dari segi bahasa (arab), Ibnu Hajar Al Asqalani -penulis kitab fikih (klasik) Bulughul Maram- dalam kitabnya Fathul Bari, menjelaskan :
Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang datang kepada manusia dikala mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti jenis tanah yang subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat untuk dirinya, dan kemudian tumbuhlah tumbuh-tumbuhan padanya sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan yang sunnah-sunnahnya dan tidak memahami secara mendalam ilmu yang ia kumpulkan, akan tetapi dia tunaikan (sampaikan.red) untuk orang lain, maka dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah wajah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia menghafalnya dan menyampaikanya seperti yang dia dengar. Betapa banyak orang yang menyampaikan fiqih kepada orang yang lebih mengerti darinya …. (Shahih HR. At Tirmidzi no. 2657, Ahmad 1/437. Ibnu Majah 232 dll.)
Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta tidak mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang kering dan tandus tidak dapat menyerap air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.
Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua (bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak, dan ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam adalah karena keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga, karena tercela dan tidak bermanfaat. Wallaahu a’lam
Kemudian dalam setiap perumpamaan terdiri dari dua kelompok. Perumpamaan pertama telah kita jelaskan tadi, sedang perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama (Islam) namun tidak mendengarkan ilmu atau mendengarkannya tapi tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan layaknya tanah tandus, yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi was Sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak mau peduli” yaitu berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa mengambil manfaat untuk dirinya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang tidak mau masuk ke dalam agama Islam sama sekali, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tapi dia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah keras yang berbatu yang tidak ada tumbuhan sama sekali, dimana air mengalir diatasnya lewat begitu saja tanpa dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan perkataan beliau shallallahu‘alaihi wasallam, "Dan dia tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa".
Ath-Thibi mengatakan, "Manusia terbagi menjadi dua. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain. Kedua, manusia yang tidak bisa mengambil manfaat untuk dirinya, tapi dia mengajarkan kepada orang lain. Menurut saya kategori pertama masuk dalam kelompok pertama, karena secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatnya berbeda. Begitu pula dengan tanaman yang tumbuh, diantaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang mengering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk dalam kelompok yang kedua seperti yang telah kita jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal yang wajib maka dia adalah orang yang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya. Orang semacam ini termasuk dalam, man lam yar fa’ bi dzalika ro san. Wallahu a’lam".
Dinukil dari kitab Fathul Bari (penjelasan kitab Shahih Al Bukhari) karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Jilid 1 Hal. 175 – 177. Cet. Darul Fikr.
Penutup (red)
Dari uraian diatas, mari kita berkaca pada pribadi kita masing-masing. Termasuk dalam kelompok manakah kita ; kelompok tanah yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat pula bagi yang lain, atau kelompok kedua yakni kelompok tanah yang mampu menahan air walaupun tidak tumbuh tanaman padanya namun air yang ditampungnya bermanfaat bagi yang lain. Ataukah yang ketiga yaitu kelompok tanah yang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya? Demikianlah Wahai saudaraku, jadikan diri-diri kita sebagai ulul Albab orang yang cerdik cendikia.
Semoga Allah memudahkan kita semua untuk menuju dan meniti jalan kebaikan dengan senantiasa dibimbing ilmu yang bagaikan hujan yang menumbuhkan tanaman yang menghasilkan buah yang manis nan indah. Amin.
[Dinukil dari kitab Syarah Riyadhus Shalihin, Bagian Kitabul Ilmi Hadits ke 1378, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, cetakan Darul Atsar (3/424-426), diterjemahkan oleh Al Ustadz Muhammad Rifa'i]
Sumber: Buletin Da’wah Islam Riyadhus Shalihin Edisi 006/Jumadil Tsani/1427 H.
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَاسَ فَشَرِبُوْا مِنْهَا وَسَقُوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَمَا هِيَ قِيْعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأَ؛ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ اَلذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan yang oleh karena itu Allah mengutus aku untuk menyampaikanya, seperti hujan lebat jatuh ke bumi; bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak. Ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam. Ada pula hujan yang jatuh kebagian lain, yaitu di atas tanah yang tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama, yang mau memanfaatkan sesuatu yang oleh karena itu Allah mengutus aku menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya. Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya.” (Muttafaqun’alaih)
Abu Abdillah berkata bahwa Ishaq berkata, "Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air, tapi tidak menyerap."
Kandungan Hadits
Tentang hadits diatas, setelah memaparkan keterangan yang menjelaskan hadits diatas dari segi bahasa (arab), Ibnu Hajar Al Asqalani -penulis kitab fikih (klasik) Bulughul Maram- dalam kitabnya Fathul Bari, menjelaskan :
Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang datang kepada manusia dikala mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti jenis tanah yang subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat untuk dirinya, dan kemudian tumbuhlah tumbuh-tumbuhan padanya sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan yang sunnah-sunnahnya dan tidak memahami secara mendalam ilmu yang ia kumpulkan, akan tetapi dia tunaikan (sampaikan.red) untuk orang lain, maka dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah wajah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia menghafalnya dan menyampaikanya seperti yang dia dengar. Betapa banyak orang yang menyampaikan fiqih kepada orang yang lebih mengerti darinya …. (Shahih HR. At Tirmidzi no. 2657, Ahmad 1/437. Ibnu Majah 232 dll.)
Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta tidak mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang kering dan tandus tidak dapat menyerap air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.
Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua (bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak, dan ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam adalah karena keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga, karena tercela dan tidak bermanfaat. Wallaahu a’lam
Kemudian dalam setiap perumpamaan terdiri dari dua kelompok. Perumpamaan pertama telah kita jelaskan tadi, sedang perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama (Islam) namun tidak mendengarkan ilmu atau mendengarkannya tapi tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan layaknya tanah tandus, yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi was Sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak mau peduli” yaitu berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa mengambil manfaat untuk dirinya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang tidak mau masuk ke dalam agama Islam sama sekali, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tapi dia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah keras yang berbatu yang tidak ada tumbuhan sama sekali, dimana air mengalir diatasnya lewat begitu saja tanpa dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan perkataan beliau shallallahu‘alaihi wasallam, "Dan dia tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa".
Ath-Thibi mengatakan, "Manusia terbagi menjadi dua. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain. Kedua, manusia yang tidak bisa mengambil manfaat untuk dirinya, tapi dia mengajarkan kepada orang lain. Menurut saya kategori pertama masuk dalam kelompok pertama, karena secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatnya berbeda. Begitu pula dengan tanaman yang tumbuh, diantaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang mengering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk dalam kelompok yang kedua seperti yang telah kita jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal yang wajib maka dia adalah orang yang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya. Orang semacam ini termasuk dalam, man lam yar fa’ bi dzalika ro san. Wallahu a’lam".
Dinukil dari kitab Fathul Bari (penjelasan kitab Shahih Al Bukhari) karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Jilid 1 Hal. 175 – 177. Cet. Darul Fikr.
Penutup (red)
Dari uraian diatas, mari kita berkaca pada pribadi kita masing-masing. Termasuk dalam kelompok manakah kita ; kelompok tanah yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat pula bagi yang lain, atau kelompok kedua yakni kelompok tanah yang mampu menahan air walaupun tidak tumbuh tanaman padanya namun air yang ditampungnya bermanfaat bagi yang lain. Ataukah yang ketiga yaitu kelompok tanah yang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya? Demikianlah Wahai saudaraku, jadikan diri-diri kita sebagai ulul Albab orang yang cerdik cendikia.
Semoga Allah memudahkan kita semua untuk menuju dan meniti jalan kebaikan dengan senantiasa dibimbing ilmu yang bagaikan hujan yang menumbuhkan tanaman yang menghasilkan buah yang manis nan indah. Amin.
[Dinukil dari kitab Syarah Riyadhus Shalihin, Bagian Kitabul Ilmi Hadits ke 1378, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, cetakan Darul Atsar (3/424-426), diterjemahkan oleh Al Ustadz Muhammad Rifa'i]
Sumber: Buletin Da’wah Islam Riyadhus Shalihin Edisi 006/Jumadil Tsani/1427 H.
Langganan:
Postingan (Atom)