Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala- Bulan Ramadhan telah berlalu beberapa hari yang lalu. Tetapi berlalunya Ramadhan (baca: bulan ramadhan) jangan sampai membuat kita putus asa dari meraih pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Pemurah. Karena di bulan Syawal (bulan berikutnya setelah Ramadhan) masih ada peluang beramal kebaikan yang mendatangkan pahala dan balasan kebaikan bagi pelakunya.
Di antara amalan di bulan Syawal yang dapat kita lakukan untuk meraih pahala dari Allah adalah “Puasa 6 hari di bulan Syawal”.Yang insya Allah di bahas pada buletin edisi kali ini.
Semoga semua amalan kita dilakukan dengan ikhlas (mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai amal shalih yang merupakan tabungan hari depan kita di akhirat kelak.Amin ya Rabbal ‘Alamin. (red.)
LANDASAN HUKUM
“Apakah ibadah tersebut (puasa 6 hari di bulan Syawal) ada dasarnya dari Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jawabannya: ada,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثـــُمَّ أَتــْبَعَهُ سِتـــًَّا مِنْ
شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan (puasa) 6 (hari) di bulan Syawal, maka jadilah seperti puasa setahun.” (HR. Muslim) (1)
Sehingga kita tidak usah ragu lagi untuk mengamalkan amalan puasa 6 hari di bulan syawal ini, karena dalilnya jelas bersumber dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Catatan Penting!!!
- Sebuah amal perbuatan yang dianggap sebagai ibadah harus di dasari dengan dalil yang shahih, baik bersumber dari Al-Qur’an maupun dari Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
( Dan ini harus ditanamkan pada diri kita.)
KEUTAMAANNYA
Bagaikan puasa selama satu tahun. Sebagaimana dapat kita pahami dari hadits yang disebutkan di atas.
- Mengapa pahalanya seperti puasa selama satu tahun?
; Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menjelaskan (sebagaimana yang beliau nukilkan dari pernyataan para Ulama` ) : “Karena kebaikan itu dilipatgandakan sebanyak 10 kali lipat, maka (puasa) Ramadhan menjadi seperti 10 bulan. Sedangkan puasa 6 hari (di bulan syawwal) seperti puasa 2 bulan (2). (3)
–> Sehingga apabila digabungkan antara kebaikan yang di dapat dari puasa Ramadhan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal sebanding dengan puasa selama 12 bulan (yaitu 1 tahun penuh), atau bahkan lebih. Wallahu A’lam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam sebuah hadits Qudsi): Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (memerintahkan Malaikat-Nya):
… وَإِذ َا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتــُبُوهَا لَهُ حَسََنَةً فَإِنْ عَمِلَهَاٍ فَاكْتـــُبُوهَا لَهُ بــِِعَشْرِ أَمْثــَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائــَةِ ضِعْفٍ .
“. . . Dan jika (hambaku) hendak berbuat kebaikan (tetapi) belum sempat melakukannya , maka tulislah 1 (satu) kebaikan untuknya. (Tapi) jika sudah dilakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kebaikan semisalnya sampai 700 (tujuh ratus) kali lipat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (4)
1. Berniat ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ibadah yang lain, maka diantara dua syarat diterimanya amalan adalah niat yang ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. .
Karena ini adalah puasa sunnah, maka boleh baginya berniat ketika sudah di pagi hari. (6)
–> dengan syarat: belum pernah makan atau minum sejak terbit fajar shubuh. .
2. Makan Sahur,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Pembeda antara shiyam (baca: puasa) kita dengan shiyamnya Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) (5)
Sehingga sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang hendak berpuasa untuk bersahur. .
Walaupun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa sunnah tanpa makan sahur, ketika beliau tidak mendapatkan makanan di rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha. (6)
3. Segera berbuka, jika matahari sudah tenggelam (masuk waktu Maghrib) . Sebagaimana pada puasa Ramadhan.
4. Lebih baik atau afdhalnya dilakukan dengan berturut-turut (mulai tanggal 2,3,4, . . . sampai tanggal 7 Syawal).
Walaupun apabila dipisah-pisah atau diakhirkan hingga akhir Syawal boleh. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah. (7)
5. Bebas memilih hari-harinya, baik di awal bulan, pertengahan maupun di akhir bulan, dan boleh pula terpisah-pisah (satu hari – satu hari tapi tidak berurutan). (8)
dengan catatan:
- Selain tanggal 1 di bulan Syawal.
- Tidak berpuasa di hari Jum’at saja (9) atau hari Sabtu saja (10), kecuali jika diiringi dengan puasa pada satu hari sebelumnya atau sesudahnya. (9) .
6. Harus mendahulukan Qadha` (membayar hutang puasa Ramadhan), sebelum puasa 6 hari Syawal.
Karena perkara yang wajib harus didahulukan daripada perkara yang sunnah.
Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan (puasa) 6 (hari) di bulan Syawal,…..” (HR. Muslim) (11)
- Sehingga jika masih memiliki hutang puasa Ramadhan dia baru dikatakan “telah berpuasa sebagian Ramadhan”. Dan belum dikatakan “telah berpuasa Ramadhan”. (12) .
7.Seorang istri harus mendapatkan izin dari suaminya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تـَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بــِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa saat suaminya ada (bersamanya) kecuali dengan seizinnya” (HR. AL-Bukhari) (13)
Kecuali puasa wajib di bulan Ramadhan. (14)
PERMASALAHAN TERKAIT .
- Pertanyaan:
Apakah pahala puasa 6 hari Syawal bisa diperoleh bagi orang yang masih memiliki tanggungan qadha’ Ramadhan (yaitu harus melunasi hutang puasanya, pen.), namun ia mengerjakan puasa (syawal) tersebut sebelum melakukan puasa qadha`? .
- Jawab:
Puasa 6 hari Syawal tidak akan diperoleh pahalanya kecuali jika seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Barangsiapa masih memiliki kewajiban mengqadha’ Ramadhan, maka jangan berpuasa 6 hari Syawal kecuali setelah melaksakan puasa qadha’ Ramadhan (melunasi hutang puasa Ramadhannya). Karena Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan … “ (11)
Atas dasar itu, kita katakan kepada orang yang masih punya kewajiban qadha’, “Laksanakan puasa qadha’ terlebih dahullu, kemudian baru lakukan puasa 6 hari Syawal. .
Bila telah selesai bulan Syawal sebelum ia sempat berpuasa 6 hari, maka ia tidak bisa memperoleh keutamaan tersebut, kecuali jika memiliki udzur. .
Bila pelaksanaan puasa 6 hari Syawal ini bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka dia bisa memperoleh dua pahala sekaligus dengan niat mendapatkan pahala puasa 6 hari Syawal dan pahala puasa Senin – Kamis. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Amal-amal itu harus dengan niat. Dan bagi masing-masing orang akan mendapat apa yang ia niatkan.(15)”. (16)
- Pertanyaan:
Jika seorang wanita masih memiliki hutang puasa Ramadhan, maka bolehkah baginya untuk mendahulukan puasa 6 hari Syawal daripada melunasi hutang puasa Ramadhannya? atau harus melunasi hutang puasanya sebelum melakukan puasa 6 hari Syawal?
-Jawab:
Jika seorang wanita masih memiliki hutang puasa Ramadhan, maka dia belum boleh berpuasa 6 hari Syawal kecuali setelah melunasi hutang puasa (Ramadhan)nya.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengiringinya dengan (puasa) 6 (hari) di bulan Syawal, . . .”(HR. Muslim) (17) .
(Maka) barangsiapa masih memiliki kewajiban melunasi hutang puasa Ramadhan, maka dia belumlah (dikatakan) berpuasa Ramadhan. Diapun tidak mendapatkan pahala puasa 6 hari Syawal kecuali setelah selesai melunasi (hutang puasa) nya. .
Kalaulah seandainya ditentukan bahwa pelunasan hutang puasa Ramadhannya meliputi (seluruh hari) di bulan Syawal. (18)
Misalnya: Ada seorang perempuan yang mengalami nifas, sehingga dia tidak berpuasa seharipun di bulan Ramadhan. Kemudian dia mulai melunasi hutang puasa (Ramadhan) nya di bulan Syawal, dan belum selesai kecuali setelah masuk bulan Dzulqa’dah. Maka dia tetap berpuasa 6 hari Syawal, dan akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa 6 hari di bulan Syawal. Karena (sebab) pengakhirannya adalah karena keadaan darurat yang dikategorikan sebagai udzur. Sehingga dia tetap mendapatkan pahala. (19)
Wallahu A’lamu bish_Shawab
dikumpulkan oleh: Abdul Hadi
Sumber bacaan:
- Artikel di www.salafy.or.id dengan judul “Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal” , dari:Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts wal Ifta’, oleh: admin
(http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu
detil&id_artikel=383)
- Artikel di www.assalafy.org dengan judul “Puasa 6 hari pada bulan Syawal” , oleh:admin assalafy.org.
(http://www.assalafy.org/mahad/?p=366#
more-366)
CATATAN KAKI:
(1) HR. Muslim no.1164, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu.
(2) Puasa 6 hari seperti pahala puasa 2 bulan, sehingga menjadi 60 hari jika satu bulannya 30 hari atau 58 hari jika satu bulannya 29 hari). (ed.)
(3) Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/56).
(4) HR. Al-Bukhari no.7062 dan Muslim no.129, dengan lafazh Al-Bukhari.
(5) HR. Muslim no.1096.
(6) HR. Muslim no.1154, At-Tirmidzi no.733 dan An-Nasa`i no. 2330,2322.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menyatakan akan berpuasa ketika tahu bahwa di rumah ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Tanpa melakukan niat dari malam harinya dan tanpa makan sahur. (ed.)
(7) Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/56).
(8) Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni
Utsaimin no.390 (20/8).
(9) Lihat hadits riwayat Al-Bukhari no.1884 dan Muslim no.1144, dari shahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
(10) Lihat hadits riwayat Abu Dawud no.2421 , At-Tirmidzi no.744 ,dan Ibnu Majah no.1726
(11) HR. Muslim no.1164, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu.
(12) Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni
Utsaimin no.384 (20/6).
(13) HR. Al-Bukhari no.4899, dari shahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
(14) HR. Abu Dawud no.2458, At-Tirmidzi no.782, Ibnu Majah no.176, dari shahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
(15) HR. Al-Bukhari no.1, dari shahabat Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘anhu.
(16) Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin no.385 (20/7).
(17) HR. Muslim no.1164, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu.
(18) Kecuali tanggal 1 syawal. (ed.)
(19) Lihat penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah di Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin no.386 (20/7)
Wallahu A’lamu bish_Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar