Zakat Fitrah
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan?
Beliau rahimahullah menjawab: Kata zakat fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fithr inilah sebab dinamakan zakat fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab dari penamaan ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh mendahuluinya (dari berbuka-masuk Syawal-red). Oleh sebab itu, waktu yang paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied). Akan tetapi diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau dua hari sebelum ‘Ied agar memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang mengambil. Sedangkan zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat di kalangan para ulama adalah tidak boleh. Berkaitan dengan waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:
1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied
2. Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat
Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma:
وَمَنْ أَدَّاهاَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكاَةٌ مَقْبُوْلَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهاَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقاَتِ
“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”
Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.1
Beliau rahimahullah ditanya: Kapankah waktu mengeluarkan zakat fitrah? Berapa ukurannya? Bolehkah menambah takarannya?
Beliau rahimahullah menjawab: Zakat fitrah adalah makanan yang dikeluarkan oleh seseorang di akhir bulan Ramadhan, dan ukurannya adalah sebanyak satu sha’2. Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan shadaqatul fithr sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”
Maka zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung atau kismis atau aqith (susu yang dikeringkan). Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu: “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam (seukuran) satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.”
Waktu mengeluarkannya adalah pada pagi hari ‘Ied sebelum shalat, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma: “Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar zakat ditunaikan sebelum kaum muslimin keluar untuk shalat,” dan hadits ini marfu’. Dan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma: “Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka hal itu (hanyalah) shadaqah.”
Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal, red). Seandainya kita katakan boleh mengeluarkannya ketika masuk bulan (Ramadhan), maka namanya zakat shiyam. Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Ied.
Adapun menambah takarannya lebih dari satu sha’ dengan tujuan untuk ibadah, maka termasuk bid’ah. Namun apabila untuk alasan shadaqah dan bukan zakat, maka boleh dan tidak berdosa. Dan lebih utama untuk membatasi sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat. Dan barangsiapa yang hendak bershadaqah, hendaknya secara terpisah dari zakat fitrah.
Banyak kaum muslimin yang berkata: Berat bagiku untuk menakar dan aku tidak memiliki takaran. Maka aku mengeluarkan takaran yang aku yakini seukuran yang diwajibkan atau lebih dan aku berhati-hati dengan hal ini.
Maka yang demikian ini dibolehkan.
(Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, juz 18 bab Zakatul Fithr)
___________________________________________________________
Catatan Kaki
1 Begitu pula seandainya berita ‘Ied datang tiba-tiba dan tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Ied, atau karena udzur lainnya. Dan ini dinamakan mengqadha karena udzur. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin, 6/174-175, ed)
2 Yaitu sha’ Nabawi. Adapun ukurannya, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, berdasarkan ukuran mudd yang dietmukandi reruntuhan di Unaizah, yang terbuat dari tembaga dan tertulis padanya: Milik Fulan, dari Fulan,... sampai kepada Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu (shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), adalah senilai 2,040 kg gandum yang bagus (lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 6/76). Jika dinilaikan dengan beras maka sekitar 2,250 kg.
Ada juga yang menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya sekitar 3 kg, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 17/1406-1407H), dan juga Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/74) menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya 3000 gr (3 kg) bila diukur dengan hinthah (sejenis gandum).Sehingga kebiasaan kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan zakat fitrah dengan ukuran 2,5 kg beras insya Allah sudah mencukupi. (ed)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar